Apa Dasar Hukum Pindah Ibu Kota?

oleh
FECA8B58 783A 4F15 ACAA A8113BDC2146

Oleh: Ahmad Daryoko, Koordinator Indonesia Infrastructure Watch (IIW)

PEMBERITAAN secara masif baik lewat televisi, koran, majalah, media online dan lain-lain terkait rencana kepindahan Ibu Kota RI dari Jakarta ke Kalimantan akhir akhir ini sangat gencar. Namun ada yang aneh karena jarang orang membahas payung hukumnya. Apa dasar hukum yang melegalkan kepindahan Ibu Kota ini? Apakah cukup hanya bermodal kekuasaan seorang Presiden semuanya menjadi beres? Bagaimana seandainya sebelum proyek selesai kemudian sang Presiden berhalangan tetap? Bagaimana ditahun 2025 kelak bila tiba-tiba Presiden baru tidak bersedia melanjutkan program pindah ibu kota ? Siapa yang bertanggung jawab bila ternyata ke depan karena berbagai hal kemudian proyek ini mangkrak? Dan masih banyak sederet pertanyaan yang memerlukan jawaban.

Sesuai pengalaman di berbagai daerah, banyak kita lihat proyek yang mangkrak akibat perbedaan kebijakan. Di Jakarta saja banyak kita lihat pilar-pilar beton di sekitar Senayan dan HR Rasuna Said yang merana dan teronggok di tengah  jalan akibat perbedaan visi antara Gubernur lama dan penggantinya.

Benar apa yang dikhawatirkan Ketua Apindo Haryadi Soekamdani saat wawancara dengan Berita Satu TV pada Minggu 8 September 2019 sekitar jam dua siang. 

Haryadi selaku pengusaha intinya mengkhawatirkan kelangsungan program, bila kelak terjadi pergantian kepemimpinan atau kejadian luar biasa lainnya. Adakah payung hukum yang menjamin kepastian hukum bagi para pengusaha yang ikut berpartisipasi dalam proyek ini? Karena bagaimanapun orientasi Pengusaha adalah profit yang semuanya memerlukan kepastian dalam berusaha, yang semuanya memerlukan kepastian hukum.

Baca Juga  Resleting Koper Mudah Copot, Jemaah Haji Keluhkan Layanan Pemerintah

Perlu kita ketahui bahwa sinyal kepindahan Ibu Kota RI dari Jakarta ke Kalimantan ini hanya disampaikan dalam bentuk statemen pamitan oleh Presiden Jokowi saat berpidato di depan DPR dan DPD pada tanggal 16 Agustus 2019 saat menyampaikan pidato kenegaraan sekaligus menyampaikan Nota RAPBN 2020 di Gedung DPR RI Senayan. 

Saat itu Presiden hanya bilang, “Pada kesempatan ini saya pamit kepada bapak ibu sekalian para anggota Dewan dan Anggota DPD yang terhormat, saya akan memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta. Saya minta dukungan bapak ibu sekalian dan seluruh rakyat Indonesia!”

Demikian statement singkat Jokowi. Pertanyaan besarnya adalah, hanya segampang itukah mekanisme pemindahan Istana Kepresidenan atau Ibu Kota Negara ketempat lain dari Jakarta? 

Presiden seolah hanya menganggap bahwa Istana hanya sebagai tempat bermukim pribadi dan keluarganya, hanya sebagai kantornya. Dia lupa bahwa Istana atau Ibu Kota adalah simbol strategis sebuah Negara. 

Istana atau Ibu Kota tidak berbeda dengan simbol Negara yang lain, yang apabila ingin merubah harus atas persetujuan Lembaga Tinggi Negara lainnya, yang dalam hal ini adalah DPR RI, dalam bentuk Undang Undang.

Pertanyaannya, sudah terbitkah payung hukum berbentuk Undang Undang tersebut? Sehingga akan menjamin kontinuitas program bagi siapa pun Presidennya?

Baca Juga  Perpres JK Nomor 75/2019 Terbit, Peserta Mandiri Sempoyongan

 

EPC System

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Presiden Jokowi selama ini sangat mudah menyetting proyek besar di luar kebiasaan yang ada pada periode sebelumnya? 

Diperkirakan karena proyek-proyek era Jokowi berjalan dalam konsep Public Private Partnership (PPP) dengan mengerahkan BUMN yang bekerja sama dengan swasta dengan system EPC (Engineering Procurement Construction) atau Turn Key Project, terutama dengan swasta Asing. 

Pada system ini, terwujudnya sebuah bangunan mulai dari perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan konstruksi bahkan pembiayaannya semua akan dilakukan oleh Main Contractor yang ditunjuk (biasanya Asing). 

Kemudian BUMN yang ditunjuk oleh Pemerintah guna mewujudkan infrastruktur tadi tinggal membayar hutang-hutangnya kepada Main Contractor Asing tadi. 

System semacam inilah yang di indikasikan akan dipakai untuk mewujudkan impian “Kepindahan Ibukota” dari Jakarta ke Kalimantan.

 

Intinya dengan penerapan EPC system ini pihak Pemerintah ataupun BUMN yang ditunjuk untuk mewujudkan sebuah infrastruktur tidak perlu modal kecuali hanya menyiapkan lahan saja. Sehingga sangat memungkinkan adanya penyimpangan mekanisme administrasi pengadaan proyek. 

Sebuah proyek biasanya diawali dengan kegiatan menunjuk sebuah Konsultan untuk melaksanakan Preliminary Study, Survey dan Investigasi, Pra Design, Detail Design, Pembuatan Rencana Anggaran pada tahap Perencanaan, kemudian dilakukan Tahap Lelang hingga penunjukan Kontraktor Pelaksana. 

Selanjutnya Kontraktor yang diawasi oleh Konsultan Pengawas melakukan pekerjaan konstruksi sesuai design dan spesifikasi teknis hingga terwujudnya bangunan/infrastruktur.

Baca Juga  Seluruh Maskapai Penerbangan Sepakati Turunkan Harga

 

Dengan EPC System/Turn Key Project semua tahapan tadi hilang dan langsung ditunjuk Kontraktor Utama atau bahkan diserahkan kepada sebuah Negara Adhikuasa. Dan Negara inilah yang akan mengatur semuanya, mulai dari menyiapkan pendanaan dengan menunjuk Bank, Konsultan Perencana, Kontraktor Pelaksana yang tentunya semua berasal dari Negara Besar tersebut. 

Bahkan tenaga kerja mulai dari level engineer sampai kuli bisa-bisa sudah dipersiapkan dari Negara Adhi Kuasa ini. Selanjutnya Pemerintah Indonesia tinggal berpikir bagaimana cara mencicil hutangnya.

 

Tahapan RAPBN/APBN

Dengan EPC System diatas sangat mungkin tahapan Perencanaan dan Penganggaran perpindahan Ibu Kota Negara ini terlewati sehingga terlewat pula tahapan Administrasi Negara yang sangat penting bagi seluruh rakyat, yaitu berupa penyiapan RAPBN, karena tidak terlihat pembahasan dalam konteks anggaran proyek ini di DPR, meskipun sudah tersebar luas bahwa anggaran untuk pindah Ibu Kota ini adalah sebesar Rp 466 triliun.

 

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa payung hukum berupa Undang Undang yang  menjamin kepastian hukum yang mengikat semua pihak, termasuk Penguasa baru kelak, belum ada. 

Sehingga Masyarakat terancam dengan ketidakpastian berupa adanya proyek yang gagal, Penguasa baru yang menolak pindah Ibu Kota, serta himpitan hutang yang makin menggunung.

 

Untuk itu wajib ditolak Proyek Pindah Ibu Kota ini, bila tidak didasari Undang Undang.***

Bogor, Medio September 2019

 

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist