BEM SI: Blok Corridor 100 Persen untuk Indonesia

oleh
A7585F41 B38A 484A 8CE5 E652BF1A6875
Ilustrasi.foto/tirto.id

URBANNEWS.ID – Perpanjangan kontrak 20 tahun pengelolaan Blok Corridor yang berada di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan telah ditetapkan Kementrian ESDM kepada ConocoPhillips sebagai operator eksisting pada tanggal 22 Juli 2019 lalu di kantor Kementrian ESDM, Jl. M.H Thamrin, Jakarta. 

Keputusan penambahan kontrak tersebut melanggar Permen (Peraturan Menteri) ESDM No 15 Tahun 2015 setelah Permen ESDM No 23 Tahun 2018 dibatalkan oleh hasil gugatan FSPPB ke Mahkamah Agung, maka itu sama saja Menteri ESDM melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Karena, Permen ESDM No 15 tahun 2015 menjadi pedoman sejak Permen ESDM No 23 tahun 2018 dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Demikian diungkapkan Koordinator Isu Energi Minerba BEM Seluruh Indonesia, Syafrul Ardi kepada urbannews.id, Sabtu (27/7/2019).

“Pada dasarnya pejabat-pejabat yang mengambil keputusan tersebut tidak paham maksud dari amanat pasal 33 UUD 1945, dimana negara melalui Pemerintah dan DPR, berkuasa untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola dan mengawasi sumbar daya alam milik negara. Khusus untuk pengelolaan, penguasaan negara dijalankan pemerintah melalui BUMN. Jika pemerintah patuh pada konstitusi, maka tidak ada alternatif lain kecuali menyerahkan pengelolaan WK migas yang KKS-nya berakhir kepada BUMN,” ungkap Syafrul.

Baca Juga  Pertamina Perusahaan Mendunia, Tapi Takut Menurunkan Harga BBM

Lebih lanjut dikatakan, Blok Corridor merupakan blok gas terbesar ketiga di Indonesia setelah Proyek Tangguh dan Blok Mahakam. Blok Corridor ini juga merupakan salah satu tulang punggung penyuplai gas untuk industri dan listrik, termasuk untuk ekspor. Blok migas yang berada di Sumatera Selatan itu dinilai sangat vital bagi Pertamina, terutama untuk integrasi dengan Blok Rokan dan Kilang Dumai.

“Bila berkaca dari kasus Blok Rokan dan Kilang Dumai pada 2018 lalu memiliki pola permasalahan yang hampir sama, yaitu Chevron yang notabenenya sebagai perusahaan Amerika Serikat meminta perpanjangan masa setelah kontraknya akan habis pada 2021 nanti. Namun, pemerintah Indonesia mempercayai PT Pertamina (persero) untuk mengelola blok yang memiliki luas 6.220 kilometer itu. Sama halnya juga dengan kasus Freeport yang notabenenya lebih rumit dari kasus Blok Corridor ini,” ungkap Syafrul.

Baca Juga  Pacu Ekspor ke Asia Tenggara dan Nigeria, Sido Muncul Targetkan Pendapatan Ekspor Rp 180 Miliar

“Tapi, kenapa pemerintah Indonesia justru tidak memberikan kepercayaan kembali ke Pertamina dalam pengelolaaan Blok Corridor?,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Syafrul, Dwi Soetjipto Kepala SKK Migas sebagai mantan Dirut Pertamina yang seharusnya paham bisnis migas dan kondisi internal Pertamina tidak berpihak kepada Pertamina. 

“Nicke Widyawati selaku Direktur Utama Pertamina juga terkesan tidak berani bertarung memperebutkan Blok Corriodor untuk menjadi milik Pertamina. Melihat kinerja Direktur Utama dan Kepala SKK Migas yang tidak berusaha keras memperjuangkan pengambilalihan Blok Corridor 100 persen untuk Pertamina, justru menimbulkan pertanyaan. Ada apa sebenarnya di balik ini semua?,” tegas Syafrul.

Ini menunjukkan bahwa negara, kata Syafrul, yakni Pemerintah Republik Indonesia tidak serius meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi nasional. Terbukti dengan adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan keputusan terhadap penandatanganan perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Corridor kepada ConocoPhillips.

“Dengan adanya kebijakan pemerintah yang melanggar aturan soal perpanjangan kontrak Blok Corridor, BEM UNRI selaku Koordinator Isu Energi Minerba BEM SI mengeluarkan pernyataan sikap sebagai berikut; Pertama, menolak tindak lanjut dari keputusan perpanjangan kontrak kerja sama dengan Wilker Blok Corridor kepada ConocoPhillips dan memberikan 100% hak pengelolaannya kepada PT. Pertamina,” ungkap Syafrul.

Baca Juga  Azis Syamsuddin Berharap Wakapolri Baru Segera Benahi Internal Polri

Kedua, BEM SI menyatakan menolak segala bentuk kebijakan dan penyaluran kerjasama dengan investor perusahaan migas asing. 

“Ketiga, menuntut Pertamina bertindak tegas terhadap kebijakan pemerintah dalam hal ini SKK Migas yang tidak pro terhadap ketahanan dan kedaulatan energi. Keempat, memaksa KPK mengusut dan melakukan investigasi serta mengaudit atas keputusan penambahan kontrak tersebut,” ungkap Syafrul.

Kelima, BEM SI juga menuntut Presiden RI untuk segera membatalkan keputusan penambahan kontrak 20 tahun ke ConocoPhillips, selaku pemegang kebijakan tertinggi, keputusan itu batal demi hukum, karena bertentangan dengan Permen ESDM Nomor 15 tahun 2015

“Keenam, kami mendesak DPR RI untuk menjalankan fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah termasuk kebijakan yang diambil,” ungkapnya.(hen)

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist