KRKSDA Laporkan Dugaan Maladministrasi Divestasi Freeport ke Ombudsman RI

oleh
uc?export=view&id=1efXT U8XYk0Ea5R F0toK175BqnURtpv
Laporan Divestasi Freeport ke Ombudsman. foto/ist

URBANNEWS.ID – Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (KRKSDA) Jumat (15/2/2019) resmi melaporkan dugaan maladministrasi proses divestasi PT Freeport Indonesia ke Ombudsman RI. Koalisi tersebut beranggotakan Marwan Batubara dari IRESS, Ahmad Redy dari KJI, Budi Santoso dari CIRUSS, Bisman Bakhtiar dari PUSHEP, Yusri Usman dari CERI.

“Dalam dua pekan terakhir telah terungkap di ruang publik tentang kontroversi fakta keberadaan PI (Participacing Interest) 40% Rio Tinto dengan Freeport Mc Moran (FCX) dalam komposisi saham PT Freeport Indonesia (PTFI). PI Rio Tinto tersebut telah dibayar lunas pada 21 Desember 2018 oleh PT Inalum (Holding BUMN Tambang) sebesar USD 3,5 miliar,” beber KRKSDA dalam laporannya, yang salinannya diterima urbannews.id, Jumat (15/2/2019) petang.

“Fakta mengejutkan di atas terungkap ketika Dr Simon F Sembiring menulis buku ‘Karut Marut Implementasi UU Minerba dan Divestasi Freeport Yang Penuh Jebakan’ disertai pembahasan serta analisanya secara mendetail. Buku tersebut telah resmi beredar setelah acara peluncuran dan bedah buku oleh sejumlah pakar pertambangan. Acara tersebut dihadiri oleh Dirjen Minerba Bambang Gatot Arioyono, dan mantan Menteri Purnomo Yusgiantoro, Fredy Numbere, Rohkmin Daruri dan sejumlah praktisi dan pakar pertambangan pada 29 Januari 2019 di hotel Luwansa Jakarta,” lanjut KRKSDA.

Menurut koalisi ini, PI Rio Tinto dalam struktur saham FCX di PTFI dianggap oleh sebahagian pihak berstatus ilegal. Hal ini didasari oleh surat-menyurat antara Freeport McMoRan dengan Menteri Pertambangan Energi (MPE) No.1047/03/M.SJ/1995 tertanggal 28 Maret 1995, surat nomor 1826/05/M.SJ/1996 tanggal 29 April 1996, serta surat Penegasan Menteri Keuangan No.S-176/ MK.04/1996 tertanggal 1 April 1996.

“Bahkan secara tegas kedua surat menteri tersebut mengatakan PI Rio Tinto di Blok B sebagai pengembangan, bukan Blok A yang sudah dan sedang berproduksi. Kontrak tersebut pun hanya sampai 30 Desember tahun 2021 sesuai KK 1991. Pemberian opsi saham kepada pihak lainnya melewati batas waktu kontrak yang sudah disepakati, yakni hingga tahun 2041, dapat diklasifikasikan maladministrasi dan merupakan sebagai tindakan ilegal serta berpotensi mengandung unsur perbuatan pidana,” ungkap koalisi.

Dibeberkan, di dalam KK 1991 tercantum jelas data koordinat batas Blok A dengan Blok B merupakan wilayah pertambangan yang berbeda. Oleh sebab itu, valuasi PI Rio yang telah dilakukan oleh konsultan yang telah ditunjuk oleh PT Inalum perlu diuji kebenaran dan akurasinya. 

Baca Juga  Freeport Indonesia Jalin Kerjasama dengan Fakultas Industri Universitas Muslim Indonesia

“Dengan memperhitungkan masa kontrak hingga 2041 telah menyebabkan harga/evaluasi saham/PI Rio Tinto menjadi jauh lebih tinggi dari yang seharusnya.

Jika ditinjau dari perspektif KK 1991, ternyata surat menyurat antara Menteri Pertambangan dengan FCX mengandung ketidaklaziman dan melanggar Pasal 28 ayat 2 KK. Hal tersebut terungkap dari surat IB Sujana menggunakan kode M.SJ dan surat tersebut tidak ternyata tidak ada tembusannya kepada Dirjen Pertambangan Umum,” ungkap koalisi.

Lebih lanjut, KRKSDA dalam laporan tersebut menyatakan surat berkode M.SJ adalah surat yang dikeluarkan oleh Sekjen Kementerian Pertambangan dan Energi, bukan surat dari Direktorat Jenderal Pertambangan Umum yang berkode M.DPJ. 

“Seperti disepakati dalam Pasal 28 ayat 2 KK 1991 dikatakan bahwa setiap pemberitahuan, permintaan, peniadaan, izin, persetujuan, dan pengunguman lain… harus dilakukan, tertulis … dst, ditujukan kepada Kementerian Pertambangan dan Energi, U.p Dirjen Pertambangan Umum (sekarang Dirjen Minerba),” ungkap koalisi.

Menurut KRKSDA, tindak lanjut persetujuan PI Rio Tinto dituangkan dalam Participation Agreement (PA) antara PTFI dengan PT Rio Tinto Indonesia (PTRII) baru dibuat pada 11 Oktober 1996 dan sudah diamandemen sebanyak 7 kali. Terakhir amandemen terjadi pada 11 Oktober 2016. 

“Akan tetapi PA tersebut tidak pernah disampaikan secara resmi kepada Ditjen Pertambangan Umum. Padahal menurut Pasal 14 ayat 4 KK 1991 telah disepakati dan dinyatakan bahwa Perusahaan harus menyampaikan kepada Departemen tidak lebih lama dari tanggal 15 November dalam setiap tahun selama jangka waktu persetujuan ini, rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja, kontrak penjualan dan rencana pemasaran untuk tahun berikutnya dengan rincian yang cukup agar departemen dapat meneliti rencana fisik, keuangan dan pemasaran/penjualan tersebut dan menetapkan apakah rencana-rencana tersebut itu sesuai dengan kewajiban Perusahaan menurut persetujuan ini.

“Mengingat PTFI dan PT Rio Tinto Indonesia adalah badan hukum yang didirikan di Indonesia, seharusnya kedua perusahaan tunduk kepada semua ketentuan UU Perseroan Terbatas. Oleh sebab itu setiap langkah korporasi yang penting dan strategis seharusnya ditentukan oleh RUPS, sehingga langkah korporasi PTFI yang mendominasi sekitar 81,28% saham, harus tidak boleh merugikan kepentingan pemilik saham minoritas, yaitu saham milik PT Indocoper Investama dan milik pemerintah Indonesia. Saham pemerintah Indonesia yang awalnya masing masing 10% telah terdilusi menjadi 9,36%, terakhir terdilusi lagi menjadi tinggal 5,6%,” ungkap KRKSDA.

Baca Juga  Negara Terkesan Lemah Menghadapi Taipan Batubara

Anehnya, lanjut koalisi dalam laporannya, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan sampai saat ini tidak pernah sekalipun secara resmi menjelaskan detail apa makna dan maksud isi surat IB Sujana dan Marie Muhammad serta sejak kapan saham Indonesia terdilusi menjadi 5,6%. Sebaliknya, bukanlah kapasitas PT Inalum untuk memberi penjelasan dan menyatakan bahwa PI 40% Rio Tinto dengan FCX di dalam struktur PTFI telah disetujui oleh 2 Menteri (IB Sujana dan Marie Muhammad) pada April 1996. 

“Inalum terkesan arogan dengan menyatakan bahwa pihak-pihak yang mempertanyakan surat kedua menteri sebagai orang-orang yang tidak paham masalah, padahal kedua surat tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Jadi dugaan sementara PT Inalum tidak prudence alias tidak hati-hati dalam melakukan verifikasi data-data terkait keberadaan PI Rio Tinto dengan FCX didalam PTFI dan tidak berupaya mempermasalah perbedaan fakta ke pengadilan arbitrase yang akan digunakan sebagai dasar apakah wajar atau sah PT Inalum membayar PI Rio Tinto senilai USD 3,5 miliar, karena dari fakta yang kami temui terdapat pelanggaran terhadap UU maupun KK 1991,” lapor koalisi ini ke Ombudsman RI.

Lebih lanjut dilaporkan KRKSDA, proses akuisisi 45,6% PI Rio Tinto dan saham PT Indocopper Investama telah dilunasi oleh PT Inalum pada 21 Desember 2018 berdasarkan penugasan oleh Menteri BUMN pada tanggal 18 Desember 2018. 

“Tertangkap kesan bahwa pejabat-pejabat terkait yang terlibat proses negosiasi divestasi diduga menyembunyikan sejumlah fakta yang berpotensi merugikan negara. Potensi kerugian ini terkesan ditutupi dengan framing keberhasilan pemerintah menguasai 51,2% dan memberikan harapan besar di kemudian hari bahwa Indonesia akan menikmati hasil yang lebih besar dari pada sekarang. Faktanya meskipun sudah menguasai saham 51, 2% didalam PTFI, posisi penting Komisaris Utama dan Direktur Utama ternyata ditempati oleh perwakilan dari FCX,” ungkap koalisi dalam laporannya itu.

Baca Juga  Pangandaran Makin Matang, Agun Gunandjar Perkuat Tata Kelola Dana Desa

“Inalum juga akan menanggung dosa warisan kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah tambang sejak tahun 1972 sampai dengan 2018. Hal ini sesuai dengan hasil audit BPK RI yang telah menemukan potensi kerusakan lingkungan dengan nilai ekosistem yang dikorbankan atas perhitungan jasa ekosistem oleh IPB dan LAPAN sebesar USD 13.592.299.294 atau setara Rp 185 triliun. Selain itu ditemukan juga pelanggaran penggunaan sekitar 4,555 Ha kawasan hutan lindung tanpa izin,” ungkap KRKSDA.

Lebih lanjut, koalisi ini membeberkan bahwa ternyata BPK dengan Kementerian LHK telah gagal memastikan adanya ganti rugi yang harus dibayar oleh PTFI akibat kerusakan lingkungan yang sudah terjadi. “Padahal dalam dokumen resmi, termasuk informasi dari dokumen PT Inalum dikatakan bahwa Rio Tinto sejak tahun 2008 sudah didesak untuk keluar dari Freeport karena persoalan kerusakan lingkungan akibat limbah tambang, karena Rio Tinto beranggapan tailing PTFPI telah merusak lingkungan dan memicu kekhawatiran investor internasional,” ungkap koalisi.

Terkait persoalan lingkungan ini, menurut KRKSDA, di tahun 2008, Norwegia melarang lembaga dana pensiun Negara untuk menginvestasikan dananya di Rio Tinto karena masalah lingkungan. Secara spesifik Norwegia menuduh Rio Tinto terlibat langsung dalam kerusakan lingkungan akibat tambang Grasberg.

“Ternyata dana pensiun serupa di Negara Negara Skandanavia dan Eropa juga melarang atau membatasi investasi di Rio Tinto akibat masalah ini. Oleh sebab itu, kerusakan lingkungan yang merupakan fakta yang tak terbantahkan adanya, sehingga berpotensi akan menjadi beban yang akan ditanggung oleh PT Inalum sebesar 51,2% untuk biaya pemulihannya di masa yang akan datang,” ungkap koalisi. 

“Sehubungan dengan hal-hal di atas, kami dari Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan SDA memohon Komisi Ombudsman RI untuk dapat melakukan investigasi terhadap semua dokumen dan proses yang terjadi dalam kesepakatan divestasi saham PTFI, termasuk terhadap pejabat terkait yang terlibat dalam negosiasi. Dengan demikian, publik akan terhindar dari informasi yang simpang siur tentang divestasi saham tersebut, dan diharapkan negara pun dapat terhindar dari potensi kerugian finansial yang sangat besar,” tutup koalisi dalam laporan tersebut.(hen)

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.