Freemasonry

oleh
Ahmad Daryoko
Ahmad Daryoko.foto/ist

Oleh: Ahmad Daryoko, Koordinator Indonesia Valuation for Energy and Infrastructure (INVEST)

MUNCUL dari determinasi barat dengan berbagai macam tafsiran. Dari Merriam Webster, ini adalah organisasi pada umum nya yang mementingkan jargon “yang penting kerja” atau “KERJA-KERJA-KERJA”.

Sehingga kalau saat ini ada sosok yang suka teriakkan jargon “Kerja, Kerja, Kerja” berarti dia pengikut Ideologi Freemasonry.

Bagi orang-orang teknik yang akrab dengan proyek PLTU atau Pelabuhan dan sebagainya, pasti akrab dengan istilah “masonry wall”, saudaranya “break water”, susunan batu sebagai konstruksi penahan atau pemecah gelombang. Gak tahu apa korelasinya kemudian Merriam Webster menghubungkan konstruksi ini dengan kebangkitan Yahudi-Inggris pada tahun 1729 yang kemudian disebut sebagai “Konstituen Freemasonry”? 

Namun DR. Athian saat berdiskusi dengan kami kalangan NGO, disana ada Ichsanudin Noorsy, Marwan Batubara dan lainnya, menyampaikan desertasinya bahwa Freemasonry akhirnya muncul sebagai Ideologi gabungan antara dua Ideologi “Mainstream” yaitu Komunis dan Kapitalis (dan saat ini China adalah satu-satunya Negara di dunia yang mampu menerapkannya). China saat ini menyatakan dirinya sebagai “One Country Two System”. Padahal ya Freemasonry tersebut yang dimaksud.

Baca Juga  Gooool!!! Sontekan Rashford Antar MU Ungguli Liverpool

Negara penganut Ideologi ini menerapkan dua strategi, yaitu; 1). Saat menggalang massa untuk mendapatkan kekuasaan politik, untuk China jelas memakai Partai Komunis China (PKC). Sebagaimana diketahui Presiden China Xien Jie Ping adalah Sekjen PKC. 2). Saat kekuasaan sudah didapat, maka sistem ekonomi yang dipakai adalah Kapitalis!

Catatannya, Hongkong menolak Freemasonry China ini. Menolak penerapan Komunis yang otoriter!

Bagaimana di Indonesia? Di Indonesia pun prakteknya sudah pakai Freemasonry juga, yaitu; 1). Saat meraih kekuasaan memakai issue sosialis, “Partai Wong Cilik”, Nawa Cita (menghadirkan Negara ke tengah rakyat). Ada semangat “senasib sependeritaan” atau istilah Jadulnya “sama rata sama rasa”. Revolusi Mental dan sebagainya. 2). Tetapi saat berkuasa memakai System Kapitalis/Liberal, contoh : Kelistrikan yang era Bung Karno bersifat “Execlussive Right”, Pemerintah memakainya untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, mendorong pertumbuhan ekonomi dan seterusnya. Tetapi di era Freemasonry (dengan alasan keuangan) maka Kelistrikan tidak “Execlussive right” lagi tetapi di “Unbundling” dengan tujuan bisnis. Pembangkit hanya untuk swasta, retail hanya untuk swasta, akhirnya para pejabat pada bisnis.

Baca Juga  XL Axiata Bantu Ringankan Beban Warga Terdampak Kekeringan

Wapres JK punya pembangkit Poso Energi, Bukaka, Bosowa dan seterusnya . Menko Maritim punya Toba Energy dan lainnya. Kakak Menteri BUMN punya Adaro (PLTU Batang 2000 MW) dan lainnya. Mantan Dirut PLN (Dahlan Iskan ) pun memiliki PLTU Embalut, bisnis Token, Whole sale market (Ritail).

“Oknum” Pejabat lain memakai Mitsubishi, Marubeni, Kanshai, Sumitomo, Chengda, Xin Hua, China Electric, Shanghai Electric dan lainnya sebagai instrumen “mengejar rente” di sektor Ketenagalistrikan dengan modus “Subsidi”. Merekalah “penikmat subsidi ratusan triliun dari Negara untuk PLN yang sebenarnya! Karena PLN harus beli “stroom” pembangkit swasta itu, baik lagi kerja maupun lagi “mogok” (Take Or Pay Clause). Kapan Indonesia mau maju??***

Baca Juga  Apa Hakekat Perpres Nomor 32 Tahun 2020?

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist