Seminar Seru di ITB dalam Konteks PLN Tahun 2008

oleh
Ahmad Daryoko
Ahmad Daryoko.foto/spperjuanganpln.org

Oleh: Ahmad Daryoko, Koordinator Indonesia  Infrastructure Watch

TIBA-tiba meledaklah kemarahan Prof. Ir. Soedjana Syaphei (mantan Rektor ITB, selaku moderator seminar), memotong pembicaraan saya selaku pembicara terakhir setelah Fahmi Mochtar (Dirut PLN saat itu), Eddie Widdiono (Ketua DEN, mantan Dirut PLN) dan seorang pejabat ESDM.

“Hei mas Daryoko, anda ini dari dulu kok ngotot terus tolak ‘Unbundling’. Anda harus tahu PLN/Pemerintah tidak punya uang lagi untuk bangun pembangkit, sementara kebutuhan sudah sangat mendesak. Sehingga pembangkit harus diserahkan ke swasta (IPP), ritail pun biar swasta saja yang urus! Ya terpaksa harus ‘unbundling’! Kalau anda nolak terus, ya apa saran anda kepada Pemerintah agar tetap survive? Jangan asal nolak dong!” begitu sela Prof Soedjana.

Pertanyaan tersebut spontan saya jawab. “Begini Prof, saran saya patung Garuda ini (sambil saya tunjuk patung Garuda Pancasila yang nempel di tembok, di depan persis pembicara duduk, di Aula Timur ITB) diganti saja dengan lambang lain, kalau pemerintah merasa kewalahan dalam menopang ketenagalistrikan dengan Konstitusi yang ada dan Dasar Negara Panca Sila!”

Baca Juga  MK Austria Membatalkan Pilpres Tanpa Kecurangan

Tiba-tiba seorang mahasiswa yang duduk di tengah-tengah massa seminar berdiri dan berteriak. “Diganti lambang apa Bang?” Saya jawab singkat. “Ganti saja dengan gambar burung emprit atau cocak rowo!”. 

Spontan tertawa meledak para peserta seminar di seuruh ruangan, disusul kegaduhan. Karena ada seorang mahasiswa menegur saya dengan keras dan minta saya turun dari podium pembicara. Dan moderator pun sibuk menenangkan massa. Para petinggi PLN pun ber sms ke saya agar hati-hati bicara di depan kaum intelektual. ITB bukan pasar, tegas  mereka di sms itu.

Yang saya ingat beberapa bulan kemudian setelah Seminar di ITB itu, disahkanlah UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan yang baru menggantikan UU No 20/2002 yang dibatalkan MK sebelumnya.

Memang ITB dan UI paling getol memanggil saya untuk bicara di Seminar maupun diskusi panel, apalagi setelah SP PLN berhasil membatalkan UU Ketenagalistrikan sampai dua kali.

Indikasinya, dua Perguruan tinggi ini menjadi “tenaga ahli” DPR RI dalam menyiapkan Konsep UU Ketenagalistrikan. Sehingga sikap mereka adalah mendukung Kebijakan  Pemerintah di Sektor Ketenagalistrikan yang liberal itu.

Baca Juga  Sambangi Masyarakat Ciamis, Agun Gunandjar Tegaskan Dana Desa Bisa Dimanfaatkan untuk PAUD

Yang aneh di ITB, terjadi dua kubu, baik yang mendukung maupun menolak kebijakan tersebut, sehingga saya sampai lima kali diundang ITB.

Indikasi bahwa mereka diminta menjadi Tenaga Ahli DPR RI terlihat saat Tim ITB dibawah Prof. Sujana Shapei, Tim UI dibawah pimpinan Dekan Fakultas Teknik UI Prof. Dr. Reynaldi Dalimi, dan SP PLN dibawah Sekjen Ahmad Daryoko, diundang secara bersamaan untuk mengikuti RDPU yang diadakan oleh Komisi VII yang dipimpin Irwan Prayitno (sekarang Gubernur Sumbar). 

Saat RDPU terlihat jelas ITB dan UI  mendukung tanpa “reserve” konsep UU Kelistrikan yang Liberal itu. Sementara kami dari SP PLN bertitik tolak dari “legal standing” baik sebagai  konsumen listrik, maupun sebagai karyawan PLN yang  terancam hak konstitusinya bila UU Ketenagalistrikan diberlakukan, menolak konsep UU Ketenagalistrikan yang baru tersebut, dan mempertahankan UU Ketenagalistrikan yang lama yaitu UU No 15/ tahun 1985, dimana tidak ada Unbundling karena peran swasta hanya sebagai sub kontraktor PLN.

Baca Juga  Rayakan Hari Ulang Tahun ke-24, XL Axiata Tegaskan Komitmen Terus Perluas Jaringan Hingga ke Pelosok Negeri

Perlu diketahui dalam konsep UU Kelistrikan yang baru tersebut akan terjadi Liberalisasi kelistrikan, sehingga pasal 33 ayat (2) UUD 1945 “Cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara” akan terancam eksistensinya akibat program “Unbundling” yang liberal itu. 

Liberalisasi Ketenagalistrikan ini akan memunculkan multy transfer pricing cost yang menjadikan listrik mahal.

Untuk selanjutnya dalam sidang Judicial Review terhadap UU No 20/2002 maupun UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, SP PLN mengajukan Ahli dari UI, ITB, ITS dan Prof. David Hall dari Green Which University (UK) yang membawa contoh-contoh kejadian di LN yang menerapkan Unbundling System maupun yang tetap ‘vertically integrated System’.

Dan akhirnya MK membatalkan UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan secara total, dan membatalkan Pasal-pasal Unbundlingnya pada UU No 30/2009 penggantinya.***

Bandung 1 Januari 2020.

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist