Warning KPK Terhadap Menpan RB dan PT Taspen

oleh
B6190A30 8C29 45A5 BD31 E94D1DDB21F4
Ilustrasi/foto/pintarpolitik.com

Oleh: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc (Pemerhati Kebijakan Publik- Ketua DJSN 2011-2015 – Ketua Dewan Pakar LAFAI)

MARI kita rehat sejenak  memikirkan defisit DJS Program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Dan mengalihkan perhatian kita pada BPJS Ketenagakerjaan yang juga bukan tidak ada persoalan yang menimpa BPJS tersebut.

Mulai dari soal JHT yang tak kunjung tuntas, terkait pengambilan dana JHT oleh pekerja walaupun baru sebulan bekerja kena PHK, yang menurut UU SJSN minimal 10 tahun masa iur baru dapat dipinjamkan sebagian kepada peserta. PP 60 dan Permenaker 19/2015 tidak kunjung dicabut, padahal jelas-jelas bertentangan dengan UU SJSN.

Persoalan Jaminan Pensiun yang terkait dengan usia pensiun dan besaran iuran sesuai PP 45/2015, juga sampai saat ini masih menjadi persoalan yang berdampak pada kepentingan pekerja dan perusahaan.

Usia pensiun yang ditetapkan pertama kali adalah 56 tahun, dan mulai 1 Januari 2019, menjadi 57 tahun, dan setiap 3 tahun usia pensiun bertambah 1 tahun, sampai usia 65 tahun. Padahal saat ini perusahaan masih menetapkan usia pensiun 55 tahun.

Terkait iuran pensiun yang 3%, adanya potensi unfunded dalam waktu 15–20 tahun mendatang, perlu dikaji cermat dari sekarang. Jangan sampai BPJS Ketenagakerjaan gagal bayar pensiun tahun 2035, seperti defisit DJS JKN, yang ujungnya menjadi beban pemerintah.

Persoalan JKK dan JKm juga masih belum selesai. Ada keinginan pihak BPJS Ketenagakerjaan untuk menaikkan/meningkatkan manfaat JKK dan JKm harus merubah PP 44/2015. Konsep perubahan sudah final, konon kabarnya sudah tinggal persetujuan antar menteri terkait. Nah di sini persoalannya, sudah berbulan-bulan approval menteri tidak ada beritanya. Kasihan BPJS Ketenagakerjaan sudah lemas lunglai menghadapi tembok birokrasi yang luar biasa.

Baca Juga  STIE Bangkinang Rampungkan Kerjasama dengan Tiga Perguruan Tinggi di India, Zulher: Perjuangan dan Lelah Ini untuk Masyarakat

Persoalan yang paling anyar saat ini, adalah tajamnya gesekan BPJS Ketenagakerjaan yang dibeking oleh UU SJSN dan UU BPJS, dengan PT Taspen yang dibeking oleh beberapa Kementerian dengan mengandalkan PP yang tidak punya landasan berpijak UU yang terkait.

Persoalan tersebut rupanya masuk dalam radar KPK. Saya mendapatkan copy dokumen Surat KPK kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tertanggal 17 Juli 2019, Tentang; Hasil Kajian KPK terkait Kebijakan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Secara runtut KPK sudah mengkonstruksikan aspek hukumnya, terkait Jaminan Sosial, mulai dari UU SJSN, UU BPJS, UU ASN, dan terbitnya PP 70 tahun 2015, yang secara eksplisit menunjuk PT Taspen sebagai penyelenggara JKK, dan JKm untuk ASN, dengan besaran iuran 0,30% (sama besarnya dengan iuran JKK, JKm BPJS Ketenagakerjaan), dan kemudian naik menjadi 0,72% sesuai dengan PP 66 tahun 2017, dengan peningkatan manfaat beasiswa yang semula maksimal untuk 1 anak, menjadi maksimal 2 anak.

Selanjutnya pada tahun 2018 terbitlah PP 49 Tahun 2018, Jaminan Sosial bagi Non ASN (diluar PNS dan PPPK) yang digadang-gadang akan dilaksanakan oleh PT Taspen dan pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Menteri PAN-RB (Pasal 99 ayat (4). 

Apa yang menarik dari kajian KPK tersebut, dengan dasar latar belakang yang diutarakan diatas. Ada tiga poin penting. Pertama, Pengelolaan Jaminan Sosial sesuai dengan SJSN bersifat nirlaba dan hasil pengelolaannya seluruhnya digunakan untuk pengembangan program dan kepentingan peserta. Keempat program JKK, JKm, JHT, dan JP, diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Pentahapan dan jangka waktunya sesuai dengan Perpres 109/2013, khusus untuk JKK dan JKm paling lambat 1 Juli 2015.

Baca Juga  Mulai Besok, Pengguna Tujuh Ruas Tol Trans Jawa Wajib Bayar!

Kedua, KPK mengkaji bahwa tarif/iuran JKm PT Taspen lebih tinggi (0,72%) dibandingkan dengan BPJS Ketenagakerjaan (0,30%). KPK menghitung ada potensi inefisiensi berupa kemahalan sedikitnya Rp 775 Miliar per tahun. Jumlah ini merupakan selisih pembayaran tarif jaminan sosial yang menjadi beban APBN/APBD jaminan sosial ASN (kemahalan Rp 529 Miliar sebagaimana terjadi saat ini), dan non-ASN (potensi kemahalan Rp 246 Miliar, bila ditetapkan akan dikelola oleh PT Taspen). Dasar perhitungan adalah gaji pokok terendah.

Ketiga, BPJS Ketenagakerjaan sudah mengelola dua juta peserta JKK, JKm bagi non ASN. Ada satu juta lagi belum mendapatkan jaminan sosial JKK dan JKm, karena keraguan pemerintah daerah atas pengelolaannya. Di samping itu ada 50 ribu peserta sudah mendaftar, namun pembayaran ke BPJS Ketenagkerjaan ditunda oleh Pemda, dampaknya mereka itu tidak mendapatkan jaminan sosial sesuai dengan haknya.

Lalu apa rekomendasi KPK terkait hasil kajian diatas. Rekomendasinya ada tiga poin. Pertama, agar Menteri PAN RB, konsisten mengimplementasikan penyatuan penyelenggaraan jaminan sosial JKK, JKm, JHT dan JP, sesuai amanat UU SJSN dan UU BPJS. KPK mengutip prinsip SJSN, antara lain; nirlaba, dan hasil pengelolaannya seluruhnya digunakan  untuk pengembangan program dan kepentingan peserta.

Kedua, menghindari penetapan penyelenggara jaminan sosial yang justru menimbulkan kemahalan atau beban keuangan tambahan bagi APBN/APBD. Ketiga, tidak perlu mengotak-katik dua juta peserta JKK dan JKm non ASN yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan, dan mendorong yang satu juta (belum terlindungi JKK, JKm) agar mendapat manfaat kepeserta segera.

Baca Juga  Bukan 'Kiamat’, Pelaku UMKM dan Sektor Informal Tetap Optimis, Tak Boleh Panik Hadapi Kebijakan PPKM Darurat Covid-19 Jawa dan Bali

Kesimpulan

Ada warning dari KPK yakni mengingatkan MenPAN RB, dan PT Taspen berhati-hati terhadap kemahalan sebesar Rp 529 Miliar per tahun dari tarif/iuran ASN, yang uangnya berasal dari kocek Pemerintah. Dan juga potensi kemahalan sebesar Rp 246 Miliar per tahun, dari tarif/iuran non-ASN jika dikelola oleh PT Taspen.

Menteri Keuangan sebagai penanggung jawab keuangan negara, juga harus melihat kemahalan dan potensi kemahalan tersebut, untuk segera dilakukan langkah-langkah preventif agar tidak terjadi. Jangan di satu sisi membiarkan PT Taspen mengeruk keuntungan dari JKK dan JKm, di sisi lain untuk BPJS Kesehatan menyelesaikan defisit DJS JKN, harus berbelit-belit dengan sembilan bauran kebijakan yang tak jelas sampai dimana ujungnya.

Dengan hasil kajian KPK ini, BPJS Ketenagakerjaan harus proaktif untuk memperjuangkan hak, kewajiban dan wewenangnya yang berusaha direduksi oleh stakeholder tertentu. Lakukan upaya yang lebih intens lagi untuk menyelamatkan satu juta non-ASN yang belum mendapatkan jaminan sosial JKK, dan JKm yang menjadi haknya.

Langkah selanjutnya dengan dasar kajian KPK tersebut, gugat lagi PP 70/2015 ke Mahkamah Agung, karena  menabrak UU SJSN dan UU BPJS.

Kejar terus, dimana macetnya draft perubahan PP 44/2015, terkait JKK, dan JKm yang akan memberikan peningkatan manfaat bagi peserta. Hal tersebut sesuai dengan semangat Presiden Jokowi untuk memangkas birokrasi yang menghambat proses pembangunan bangsa.***

Cibubur, 3 Agustus 2019

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist