
Oleh: Ahmad Daryoko, Koordinator Indonesia Infrastructure Watch(IIW)
IPP yang merupakan singkatan dari independent power producer atau sering disebut juga listrik swasta (Liswas), adalah perusahaan pembangkit yang biasanya dimiliki oleh Asing dan Aseng, yang datang ke Indonesia, lalu membangun sendiri pembangkit listrik tersebut di bawah koordinasi PLN.
Liswas ini kemudian menjual stroom ke PLN dengan sebuah kontrak bernama power purchase agreement (PPA) contract. Dalam kontrak inilah ditetapkan harga jual stroom ke PLN. Misalnya USD 8 cent per kWh.
Dalam kontrak itu juga ditetapkan adanya Take Or Pay Clause (TOP Clause) yang intinya PLN harus beli stroom IPP tersebut minimum 70% produksi per hari. Baik kerja maupun ‘nganggur’.
Karena ‘gurihnya’ bisnis ini, maka para oknum pejabat yang secara struktural membawahi PLN, di antaranya Kementerian ESDM, dan Kementerian BUMN, dan lembaga lainnya yang terkait, serta parlemen, ikut ‘nimbrung’ bahkan menjadi bagian dari ‘pemburu rente’ proyek IPP tersebut.
Sistem ini disorongkan oleh John Perkins, agent CIA dalam pengakuannya berjudul “The Confussion Of an Economic Hitman”, mulai sekitar 1975 bersama idenya untuk membangun interkoneksi keliling Jawa-Bali, padahal mestinya sistem transmisi cukup dilokalisir per propinsi dalam Island System. Namun IPP saat itu belum bisa dikoreksi secara yuridis karena belum ada MK.
Keberadaan IPP ini mestinya sudah dilarang oleh konstitusi karena terbukti melanggar pasal 33 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi “Cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara”. Itu semua atas putusan MK tahun 2004 dan tahun 2016.
Tetapi sampai saat ini Sistem IPP tersebut belum dihentikan pemerintah meskipun melanggar konstitusi dan bikin tarif listrik melejit. Bahkan ada program pembangunan power station 35.000 MW dengan 30.000 MW adalah IPP.
Apapun alasannya, hal ini adalah melanggar Konstitusi UUD 1945. Dan Pemerintah bisa di “Impeachment” atau dimakzulkan karena pelanggaran konstitusi ini***