URBANNEWS.ID – Pembuat Undang Undang Omnibus Law bidang Minerba melakukan perampokan hak dan kedaulatan rakyat saat menetapkan beleid yang meniadakan pembayaran royalti kepada negara atas mineral dan batubara yang diproduksi.
Demikian diutarakan Mantan Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) yang juga merupakan tim perumus Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, Simon F Sembiring ekslusif kepada urbannews.id, Selasa (26/2/2020).
“Royalti merupakan nilai yang harus dibayarkan produsen atas minerba yang diproduksi kepada Negara (Rakyat dan Pemerintah). Royalti merupakan cerminan kedaulatan negara dan rakyatnya. Saat royalti dibayarkan, maka terjadilah pemindahan kepemilikan bahan galian dari rakyat kepada pengusaha. Oleh karena itu apabila royalti menjadi nol, maka terjadi perampokan hak dan kedaulatan rakyat oleh si pembuat Undang Undang,” ungkap Simon.
Untuk sementara ini, kata Simon, karena draft beleid peniadaan royalti produksi Minerba ini berasal dari Pemerintah, maka Pemerintah telah dengan sadar merampok hak kepemilikan dan kadulatan rakyat atas minerba tersebut, dimana nilainya dinolkan.
“Pertanyaannya, apakah DPR dapat atau harus menyetujui ini? Seharusnya DPR yang dipilih oleh rakyat langsung harus menolak ini, karena apabila diterima maka rakyat bisa menuntut agar partai sebagai representasi di DPR dibubarkan saja karena tidak menyuarakan hak dan kedaulatan rakyat,” tegasnya.
“Saran saya agar royalti tetap dikenakan, banyak insentif lain yang bisa diberikan. Pemerintah jangan tidak mau berfikir atau kerja keras,” kata Simon.
Ulasan Simon F Sembiring tersebut terkait dengan Pasal 128 A yang ada di dalam draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang kini tengah digodok di DPR.
Pada Ayat (2) pasal 128 A, dicantumkan Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalty sebesar 0 persen.
Kemudian pada Ayat (3), ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan PP.
Dijelaskan Simon F Sembiring, ada tiga macam penerimaan negara non pajak dalam pertambangan, yaitu, pertama Iuran tetap (dead rent). Iuran tetap ialah iuran yang dibayarkan kepada Negara sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu wilayah usaha pertambangan (WUP).
“Kedua, Iuran Eksplorasi. Ini ialah Iuran Produksi yang dibayarkan kepada Negara dalam hal pemegang IUP Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian atau batubara yang tergali atas kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya,” ulasnya.
Kemudian ketiga, lanjut Simon, adalah Iuran Eksploitasi. “Ini adalah Iuran Produksi yang dibayarkan kepada Negara atas hasil yang diperoleh dari IUP Produksi sesuatu atau lebih bahan galian atau batubara,” katanya.
Membingungkan Publik
Sementara itu, secara umum tentang draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu, dari dokumen yang diperoleh urbannews.id, pada saat RUU ini diserahkan kepada DPR, menurut keterangan Pemerintah bahwa draft RPP Perubahan PP Nomor 23 tahun 2010 yang keenam juga sudah dibahas interdep dan sudah ada di Sekneg untuk proses finalisasi.
Kemudian, draft RUU Minerba (Perubahan UU Minerba No.4/2009) sebagai kelanjutan draft sebelumnya sudah masuk Prolegnas dan DIM pun sudah ada masukan resmi dari Pemerintah untuk selanjutnya dibahas (sudah dibentuk Pansus, Panja dan kelengkapan lainnya antara Pemerintah dengan DPR).
Terkait hal ini, Simon F Sembiring mengungkapkan, hal itu sangat membingungkan publik.
“Apakah sudah sesuai dengan tatanan pembuatan peraturan perundangan sebagaimana ditetapkan pada UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Hierarhi Peraturan Perundangan?,” ungkap Simon.
Dikatakan Simon, apabila RPP ditetapkan yang notabene melihat draftnya menyimpang dari UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009, maka selama UU Minerba masih belum dicabut atau masih berlaku, maka pada hari PP tersebut diundangkan, pada hari itu juga batal demi hukum dengan alasan bertentangan dengan Undang Undang-nya.
“Beberapa pertimbangan pihak Pemerintah (KESDM dan Menko Perekonomian), bahwa sesuai Kontrak Karya (KK) PKP2B, maka adalah hak pengusaha untuk memeperpanjang operasinya selama 2 x 10 tahun dengan luasan sesuai dengan luas PKP2B dan KK dan Pemerintah harus menyetujuinya demi kepastian berusaha,” ulas Simon.
Lebih lanjut diutarakan Simon, sesuai Pasal Pasal 170, 171 dan 172 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, dan isi KK maupun PKP2B (khususnya Generasi 1), bahwa pertimbangan pihak Pemerintah itu batal demi hukum karena yang berhak menafsirkan Peraturan Perundangan adalah Mahkamah Agung (MA).
“Melihat isi pasal tentang perubahan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dalam draft RUU Omnibus Law ini, sudah menggambarkan RUU Minerba yang akan diubah (Draft RUU Minerba yang saat ini sedang dibahas di DPR,red). Hal ini juga agak membingungkan publik, walaupun RUU Omnibus inisiatif Pemerintah, sedang RUU Minerba inisiatif DPR yang lalu (dilanjutkan saat ini),” ungkap Simon.
Pertanyaan besarnya, lanjut Simon, apabila UU Omnibus lebih dahulu diundangkan, bagaimana dengan nasib RUU Minerba? Apakah bisa bertentangan dengan UU Omnibus, apakah harus sama dengan UU Omnibus?
“Melihat azas Lex specialist, maka UU yang kemudian lah yang akan syah berlaku!,” kata Simon.
Kedaulatan Negara dan Rakyat
Sementara itu, lebih lanjut tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Simon F Sembiring mengatakan, penyesuaian kewenangan pemberian izin pertambangan Minerba sesuai dengan perubahan atau Amandemen UU Otonomi Daerah merupakan hal yang wajar dan tentu dapat penyesuaian tersebut adalah legal.
Menurut Simon, sorotan penting adalah Pasal 47, khusus tentang perpanjangan operasi produksi. Pemerintah harus tetap ditempatkan sebagai penguasa dan rakyat adalah pemilik sumberdaya mineral dan batubara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
“Oleh karena itu, untuk perpanjangan operasi produksi, penekanannya bukan hak pengusaha untuk memperpanjang, tetapi harus ada penekanan atas persetujuan pemerintah. Karena masa 20 tahun dan 30 tahun bukanlah masa yang pendek atau sedang, tapi masa jangka waktu yang panjang. Sehingga dinamika perkembangan ekonomi, politik, sosial, budaya, nasional, regional dan internasional harus juga menjadi pertimbangan. Jadi tidak boleh ada kesan bahwa perpanjangan itu ‘Take it for granted’. Kedaulatan Negara dan Rakyat harus tetap dijunjung tinggi,” beber Simon F Sembiring.
Demikian juga, lanjut Simon, pertimbangan kewajiban lingkungan hidup ke depan akan menjadi sangat krusial.
“Demikian halnya dengan operasi produksi yang terintegrasi dengan pengolahan pemurnian (khusus untuk logam), dimana diberi waktu 30 tahun dan diperpanjangan setiap 10 tahun, dengan batas sampai dengan seumur tambang. Ini tentu juga harus ada klausal sepanjang disetujui oleh pemerintah,” beber Simon.
Dikatakan Simon, sudah ada pengalaman dimana dahulu pada zaman penjajahan diberi hak penguasaan lahan sampai batas lebih 50 tahun.
“Kita mempunyai Tata Ruang Propinsi yang tentunya akan juga dinamis, sehingga faktor lingkungan dan dinamika pembangunan juga sangat berperan. Indonesia harus juga mempunyai Ketahanan Minerba yang dinamis,” ungkap Simon.
Dikatakan Simon, pasal-pasal yang ada ini juga belum tentu menjamin ketahanan Minerba nasional. Konservasi juga harus merupakan pertimbangan jangka panjang.
“Soal luas wilayah, Pemerintah sudah lebih berwibawa menegakkan kedaulatannya dimana luas diberikan berdasarkan evaluasi Pemerintah Pusat. Kenapa dalam hal waktu tidak bisa dibuat hal yang sama?,” kata Simon.
Catatan pentingnya, kata Simon, pemerintah juga tidak akan berniat mematikan investor atau pengusaha, tetapi kedaulatan harus tetap ditegakkan. Hal seperti ini sifatnya global dimana-mana negara di dunia ini, pastilah mempertahankan dan memelihara kedaulatannya.(hen)