Gelar Webinar dengan Mantan Dirut PLN, INVEST Beberkan Subsidi Negara ke PLN Sudah Bengkak Tiga Kali Lipat akibat Berlakunya MBMS

oleh

E2DC4A27 E2B9 453A B124 0A67101FE740

URBANNEWS.ID – Keberadaan PLN tidak terlepas dari Sejarah Kemerdekaan RI. PLN dibentuk dari Nasionalisasi Ogem, Aniem, Gebeo, NIGMN dan lainnya. Sehingga harga listrik terjangkau oleh rakyat. Listrik dianggap sebagai infrastruktur untuk kesejahteraan rakyat bukan komoditas komersial tempat orang cari untung. Alasan tidak adanya modal negara guna biayai kelistrikan  hanyalah modus agar para penguasa yang bermental calo dapat bermain dengan pemodal di bidang kelistrikan. Pada tahun 1945 yang jelas-jelas tidak ada modal, mengapa para Founding Fathers saat itu mau operasikan kelistrikan?

Demikian salah satu poin penting yang terungkap saat Indonesia Valuation for Energy and Infrastructure (INVEST) menggelar webinar ketenagalistrikan, Rabu (22/7/2020).

Webinar itu menghadirkan Keynote Speech dari Djiteng Marsudi, Mantan Dirut PLN dan Ketua Dewan Pembina INVEST. Selain itu juga tampil sejumlah pembicara, antara lain Ketum PP IP PS Kuncoro, Mantan Ketum PP IP Nusyrwan, dan Mantan Ketum SP PJB Eddy Hartono. Webinar tersebut dimoderatori Koordinator INVEST, Ahmad Daryoko.

“Poin penting lainnya, bahwa saat Indonesia menjelang merdeka ternyata banyak tokoh masyarakat menolak untuk merdeka karena mereka sudah merasa nyaman dibawah ketek Belanda, mental Inlander, tidak memiliki jiwa mandiri atau mental calo. Pemimpin yang  bermental calo seperti inilah yang ditengarai hobinya mengundang modal asing dan mencari fee dari percaloan tersebut. Akibat mental semacam inilah sekarang yang menyeret Indonesia khususnya PLN masuk kubangan krisis multidimensi,” ungkap Ahmad Daryoko.

Lebih lanjut, Ahmad Daryoko mengatakan, dalam webinar itu juga diungkap bahwa ditengarai bangsa Indonesia sudah tidak memiliki fighting spirit lagi guna bangkit dan menjadi negara maju karena didikan mental calo.

“Sudah terjadi MBMS di Jawa-Bali dengan indikasi lelang energi pembangkit. Tetapi tidak fair karena hanya komponen “C” yang diperhitungkan. Akhirnya semua PLTU PLN mangkrak. Pembangkit PLN hanya PLTGU dan PLTA saja yang dipakai guna menjaga frekuensi dan untuk peaking atau beban puncak,” lanjut Ahmad Daryoko membeberkan isi webinar itu.

Dilanjutkan Ahmad Daryoko, dengan dimulainya mekanisme MBMS seperti ini, maka mulai tahun ini pemerintah harus keluarkan subsidi ke PLN hampir tiga kali lipat dari biasanya. Kecuali bila Pemerintah tidak mau lagi subsidi ke PLN, sebagaimana skenario The Power Sector Restructuring Program sesuai Letter of Intent (LOI). Dengan resiko rakyat yang harus menanggung beban tagihan listrik rata-rata empat kali lipat dari biasanya.

“Apa yang dilakukan Menteri BUMN dengan melarang PLN melakukan operasional pembangkit (Tempo 14 Desember 2019, Kuliah Umum di Richcarlton 26 Januari 2020, dan Jawa Post 16 Mei 2020) adalah pelanggaran terhadap Putusan MK No 111/PUU-XIII/2015 tanggal 14 Desember 2016, sehingga INVEST harus melakukan “Class Action” lewat Pengadilan Negeri. Begitu juga terhadap penjualan asset negara berupa ritail PLN oleh oknum Dirut beberapa waktu yang lalu ke para taipan 9 Naga juga harus di perkarakan lewat Pengadilan Negeri,” ulas Ahmad Daryoko.

“Demikian poin-poin penting Seminar Ketenagalistrikan yang merupakan starting point bagi INVEST untuk menyikapi gejala pengelolaan kelistrikan yang merugikan rakyat,” lanjut. 

Sementara itu, mengenai pelaksanaan seminar itu, Agmad Daryoko mengatakan seminar itu diadakan mengingat pengalaman privatisasi NAPOCOR (National Power Corporation) atau PLN-nya Philipina pada 2006-2007. Privatisasi yang terjadi di NAPOCOR, dengan cara penjualan asset ke GE, EDF, Mitsubisi, Marubeni, Sumitomo, Siemens dan lain-lain. Sedang di PLN dengan cara undang IPP ke Indonesia, terutama China, disusul penjualan asset Ritail PLN ke swasta Nasional (9 Naga dan lain-lain). Setelah NAPOCOR dijual, maka tarif listrik di Philipina melonjak empat kali lipat.

“Seminar ini juga dilatarbelakangi adanya larangan dari Menteri BUMN agar PLN tidak operasikan pembangkit, sehingga untuk Jawa-Bali operasional pembangkit dilakukan oleh IPP swasta. Dengan kondisi ritail yang sudah dipegang swasta juga maka di Jawa-Bali otomatis sudah terjadi Whole sale and ritail competition atau MBMS (Multi Buyer and Multi Seller) atau mekanisme pasar bebas. Sehingga yang menentukan tarif bukan PLN lagi. Kecuali bila Negara mau menutup biaya operasional MBMS yang besar itu sebagai subsidi yang lebih besar dari biasanya (indikasinya terjadi di 2020 ini karena sampai September PLN sudah mendapat subsidi Rp 106 triliun. Sehingga sampai akhir tahun diprediksi akan mencapai Rp 140 triliun . Padahal biasanya setahun rata-rata hanya sekitar Rp 50 triliun,” beber Ahmad Daryoko.(hen)

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Professional Journalist