Satu Lagi ‘Bisul’ Pertamina Terkuak Usai ‘Ditelanjangi’ Ahok di Medsos: Saham di Maurel and Prom Senilai 700 Juta Euro Rontok

oleh
uc?export=view&id=1wLIk wrV
Harga Saham Pertamina di Maurel and Prom Rontok. foto/ist

URBANNEWS.ID – Setelah ‘Nyanyian’ Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok soal borok perusahaan pelat merah itu baru-baru ini, satu lagi ‘bisul’ raksasa Migas nasional itu terkuak.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources (CERI), Yusri Usman, Kamis (24/9/2020), membeberkan temuan rontoknya harga saham perusahaan bernama Maurel and Prom. Pertamina telah memborong saham perusahaan Perancis ini sejak 2016 hingga 2018.

“Hari ini kita menyaksikan harga saham yang dulu pada tahun 2016 dibeli Pertamina dengan harga 4,2 Euro per lembar saham, hari ini, 24 September 2020, harga per lembar saham itu hanya 1,5 Euro,” ungkap Yusri.

Menurut keterangan Yusri, Pertamina membeli saham Maurel & Prom sejak Mei 2016 hingga 2018. Terakhir Pertamina menguasai 72,65% atau 267.836.513 lembar saham untuk tiga blok Migas di Tanzania, Gabon dan Nigeria.

“Produksi minyaknya saat itu hanya sekitar 24.000 barel per hari. Tak kurang dari 700 juta Euro uang Pertamina yang digelontorkan ke sana. Uang Pertamina ini pun bersumber dari hutang global bond,” beber Yusri.

Dilanjutkan Yusri, bukan hanya masalah pembelian saham Maurel and Prom ini yang harus ditanggung Pertamina. Ada lagi sinyalemen dugaan mark up yang terjadi dalam pembelian participacing interesrt (PI) di Blok Migas Alzajair sebesar USD 1,85 miliar.

Tak hanya itu, lanjut Yusri, sinyalemen kuat itu juga mengemuka pada pembelian saham Murphy di Malaysia senilai USD 1 miliar.

“Dan ternyata pembelian PI di Blok BMG itu semua sudah menelan investasi senilai Rp 568 miliar. Hal ini diungkap Kejaksaan Agung RI pada 9 September 2018 silam. Semua uang itu hilang tak berbekas setelah PI di Blok BMG itu dilepas senilai USD 0, alias gratis oleh Pertamina saat itu,” ungkap Yusri.

Padahal, lanjut Yusri, pada tahun 2013 Maurel and Prom sudah pernah ditawarkan kepada Pertamina. Tim evaluasi yang mengkaji potensi dan resiko penawaran itu menyimpulkan bahwa tawaran itu lebih tepat dimasukan ke keranjang sampah.

“Kalau kemudian pada tahun 2016 diputuskan diakuisisi sahamnya, tentu boleh saya bertanya siapa yang harus bertanggungjawab atas potensi kerugian Pertamina yang bisa mencapai ratusan juta Euro itu?,” ungkap Yusri.

Asal-usul Investasi Rp 568 Miliar

Dilansir tempo.co, 25 September 2018, Kejaksaan Agung menegaskan kerugian keuangan negara akibat dugaan korupsi investasi PT Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia mencapai Rp 568 miliar. Kasus ini berawal dari 2009 ketika PT Pertamina dipimpin Karen Agustiawan melakukan akuisisi atau investasi terhadap beberapa aset perusahaan ROC Oil yang berada di lahan minyak Blok BMG di Australia.

“Investasi Pertamina di BMG itu merugikan negara. Pembelian tidak membawa hasil. Investasi itu tidak berjalan tanpa adanya penelitian dan persetujuan dewan komisaris,” ungkap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus M. Adi Toegarisman di Jakarta, Senin, 24 September 2018.

Adi menjelaskan, pintu masuk penyidikan perkara investasi Pertamina tersebut ada pada direktur hulu yang waktu itu dijabat oleh Bayu Kristanto. “Proses ini tanpa hasil penelitian, tanpa ada penilaian risiko, dan itu tetap berjalan yang akhirnya disetujui dan dilaksanakan investasi oleh direktur utama yaitu saudara Karen Agustiawan yang kami lakukan penahanan.”

PT Pertamina, Adi melanjutkan, melakukan langkah akuisisi atau investasi Blok BMG Australia dengan penawaran berdasarkan dari ROC Oil Company Ltd.Selama penelitian, hasilnya tidak mendapat persetujuan dewan komisaris. Dalam pelaksanaanya ditemui dugaan penyimpangan dalam pengusulan investasi yang tidak sesuai dengan Pedoman Investasi dalam pengambilan keputusan investasi.

Baca Juga  Mawarni Sangat Terbantu dengan Kegiatan Pengobatan Gratis dari PT Mifa Bersaudara

Penyimpangan investasi tersebut yaitu tanpa adanya feasibility study atau kajian kelayakan secara lengkap. Akibatnya, penggunaan dana investasi senilai US$ 31,49 juta, beserta biaya yang timbul lainnya US$ 26,8 juta, tidak memberikan manfaat atau keuntungan PT Pertamina. Sehingga, penyidik memperkirakan proyek ini merugikan negara hingga Rp 568 miliar.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus menetapkan Karen Agustiawan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, selama 20 hari terhitung sejak 24 September 2018.

Sebelumnya penyidik Kejaksaan Agung juga sudah menetapkan tersangka lain, yakni mantan Chief Legal Councel and Compliance, Genades Panjaitan dan mantan Direktur Keuangan PT Pertamina, Frederik Siahaan serta mantan Manager Merger & Acquisition (M&A) Direktorat Hulu PT Pertamina berinisial Bayu Kristanto.

Sarat kejanggalan

Sementara itu, kompasiana.com edisi 7 April 2017, melansir soal Pertamina mencoba mengadu peruntungan dengan mengakuisisi saham Maurel & Prom (MP)dari Prancis sebesar 72,65% kepemilikan saham perusahaan. Langkah korporasi ini luput dari perhatian publik dimana banyak ditemukan kejanggalan dalam proses akuisisi tersebut. Walaupun niat mengakuisisi ini sudah ditawarkan sejak 2013, akan tetapi inisiasi pengambil alihan baru dibulan Mei 2016.

Menurut sumber di Kemeneg BUMN proses pengambil keputusan sangatlah super cepat, surat dari Board of Commisioner (BOC) perihal pengambil alihan tertanggal 28 Juli 2016 dan pada 29 Juli 2016 surat persetujuan dikeluarkan. Dengan berjalannya waktu pada Agustus 2016 Pertamina membeli 24,5%saham Maurel & Prom senilai 201,2 juta euro yang dimiliki oleh Pasifico, perusahaan yang dipimpin oleh Jean Francois Henin, sosok kontroversial dalam bisnis keuangan.

Kebijakan Pertamina dalam membeli saham Maurel & Prom ini dinilai berbagai analis sangatlah sarat kejanggalan, karena proses akuisisi ini terjadi disaat Maurel & Prom tengah berada dalam kesulitan keuangan. Sebab asset dan kemampuan perusahaan MP ditengarai sudah terkikis dan tidak mempunyai prospek bisnis kedepannya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya anak perusahaan dan kantor-kantor MP tutup serta bergabung kembali atau merger dengan bekas anak perusahaan yaitu MP internasional serta menghentikan semua usaha eksplorasi. Dan usaha penambangan yang jalan hanya di Gabon dan Tanzania saja, itupun tidak besar.

Jika dilihat dari laporan keuangan Maurel & Prom untuk 2015, perusahaan Prancis ini sangatlah tidak sehat. Data keuangan EBITDA MP anjlok hampir 200 persen, dimana dari 352 juta euro pada tahun 2014 menjadi 107 juta euro untuk tahun 2015. Kemudian hasil penjualan produknya juga mengalami penurunan yang sangat signifikan dari 550 juta euro ditahun 2014 menjadi 276 juta euro untuk tahun 2015. Dan lebih parahnyanya lagi nilai sahamnya anjlok parah, dari 15 maret 2013 sempat menyentuh 14,81 euro/lembar saham, sampai terjadinya proses akuisisi oleh Pertamina awal Agustus 2016 nilai saham Maurel & Prom hanya bernilai 2,85 euro/lembar saham pada Juli 2016.

Yang begitu mengherankan adalah begitu beraninya Pertamina membeli saham Maurel & Prom pada angka 4,20 euro/lembar saham dalam mengakuisisi perusahaan Maurel & Prom ini. Jika dari data diatas saja begitu parahnya nilai saham MP mengalami terjun bebas selama periode 2013 sampai awal Agustus 2016 disaat deal akusisi oleh Pertamina. Dan bahkan lebih parahnya lagi sempat disuspen oleh otoritas bursa Prancis padi Juli 2016 lalu.

Kejanggalan berikutnya adalah dalam kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, Pertamina bahkan ingin menambah porsi sahamnya di Maurel & Prom agar dapat menguasai perusahaan tersebut diatas 51% kepemilikan. Pada 25 Januari 2017 Autorite des Marches Financiers (AMF) Prancis mengumumkan hasil penawaran pembelian saham (tender offer), dan hasilnya adalah per 1 Februari 2016 Pertamina menguasai 64,46% saham Maurel & Prom.

Baca Juga  Kebijakan Nilai Tambah Mineral di Persimpangan Jalan, antara Kepentingan Pengusaha Nasional dan Investor Asing

Langkah Pertamina ini merupakan awal dari “tender offer” pertama dimana Pertamina mengendalikan 125.924.574 lembar saham atau 64,46% saham Maurel & Prom. Selain itu Pertamina juga mengendalikan sebanyak 6.845.626 ORNANE (obligasi yang dapat ditukar dengan uang dan saham) 2019, atau setara dengan 46,70 persen dari “outstanding” ORNANE 2019 serta akan memegang 3.848.620 ORNANE 2021 yang setara dengan 36,88 persen dari “outstanding” ORNANE 2021. Dimana pembayaran kepada pemilik ORNANE akan dilakukan pada saat penyelesaian transaksi sekaligus penyerahan ORNANE kepada perusahaan dengan nilai 17,28 euro per ORNANE 2019, yaitu nilai nominal plus bunga sebesar 0,02 euro dan 11,05 euro per ORNANE 2021, yaitu nilai nominal plus bunga sebesar 0,03 euro.

Yang lebih mengejutkan lagi, hasil dari pembukaan kembali “tender offer” selanjutnya pada 9 Februari 2017, perusahaan migas pelat merah Indonesia ini kembali memperoleh saham dan obligasi (obligasi ditukarkan dalam bentuk tunai dan / atau saham baru dan / atau yang sudah ada: “Ornanes 2019” dan “Ornanes 2021” ) dari Maurel & Prom, 15.987.365 lembar saham Maurel & Prom, 790.213 Ornanes 2019 dan 510.530 Ornanes 2021 yang telah ditenderkan. Secara total, pada akhir penawaran tersebut, Pertamina menguasai 141.911.939 lembar saham Maurel & Prom atau setara 72,65%.

Dengan kepemilikan saham Maurel & Prom 72,65% ini, Pertamina mempunyai kendali penuh atas perusahaan swasta Prancis tersebut. Yang menjadi permasalahan adalah aksi korporasi Pertamina ini dinilai tidak sesuai dengan perhitungan bisnis. Dengan neraca keuangan yang terus turun dan anjloknya saham Maurel & Prom sampai saat ini yang hanya bernilai 3,38 euro/lembar saham (Bloomberg 7/4/2017), Pertamina terancam kerugian yang sangat besar. Dan jangan heran suatu saat nanti saham Pertamina di Maurel & Prom akan sangat tidak berharga sama sekali. Hal ini bisa dilihat dari laporan keuangan yang ada pada situs Maurel & Prom.

Dengan adanya indikasi kerugian tersebut, akuisisi oleh Pertamina yang merupakan kebijakan korporasi, maka semua direksi yang terlibat sejak awal proses hingga terjadinya akuisisi Maurel & Prom wajib dimintakan pertanggungjawaban. Kebijakan ini juga merupakan bentuk abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh direksi Pertamina. Dan bahkan ada kemungkinan terjadinya praktek korupsi dalam proses terjadinya akuisisi Maurel & Prom. Jadi sudah sewajarnya untuk menepis kecurigaan ini harus ada audit investasi dari BPK agar akuisisi ini menjadi terang benderang. Dan publik juga harus dijelaskan bahwa yang Pertamina akuisisi bukanlah perusahaan negara Prancis melainkan swasta punya.

Blok Migas Bajay Kok Seharga 2 Bus Jumbo

Sementara itu, rmol.id edisi 29 Agustus 2016 melansir impian PT Pertamina (Persero) yang ingin menjadi perusahaan energi kelas dunia mendadak terhenti sejenak. Tanpa alasan jelas, Pertamina ibarat melepaskan kesempatan emas menyusul batalnya rencana akuisisi blok migas West Qurna 2 yang berada di Irak.

Diketahui, West Qurna 2 termasuk blok migas paling subur di Irak dan bahkan termasuk terbesar nomor 2 didunia setelah blok Ghawar di Saudi Arabia.

Pembatalan itu pun semakin janggal karena Pertamina pada Oktober 2015 telah menyewa lembaga auditor PricewaterhouseCoopers (PwC) untuk melakukan audit finansial terhadap blok yang dikelola LukOil itu. Adapun hasil audit finansial tersebut adalah sangat baik dan positif.

Baca Juga  Hanya Terima Pesanan Spare Part, BUMD Jabar Tegaskan Tidak Pernah Ikut Terlibat dalam Pengelolaan Blok Rokan

Kemudian, due diligence (uji kelayakan) pun sudah dilakukan tim teknis Pertamina yang dilakukan pada periode Februari hingga Juni 2015.

Celakanya, beredar kabar, sejak pertengahan Agustus 2016 LukOil asal Rusia, pemilik hak pengelolaan Blok West Qurna 2, telah menutup peluang Pertamina untuk mengakuisisi sahamnya sebesar 30 persen dari nilai 75 persen milik LukOil. Ini ada apa?

“Produksi West Qurna 2 sekarang sekitar 450 ribu barel per hari (bph) dan 2019 akan mencapai 1,2 juta bph. Maka coba bandingkan dengan saham milik Jean Prancois Heinin melalui perusahaan Pasifico yang dibeli Pertamina sekarang di Prancis (Maurel & Prom), itu pun bukan beli aset melainkan membeli saham induk (holding), dengan harga 201,2 juta Euro setara Rp 2,9 triliun,” urai Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengamini rilis Dirut Pertamina, Dwi Sucipto pada Jumat (26/8).

“Padahal produksinya hanya sekitar 25 ribu barel perhari ( bph) di tiga negara yakni Gabon, Tanzania dan Nigerian dengan total cadangannya hanya sekitar 250 juta barel,” beber Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, Senin (29/8).

Berdasarkan data yang diperoleh, lanjut Yusri, semula LukOil menawarkan kepemilikan 30 persen sahamnya di West Qurna 2 seharga sekitar USD 1,2 miliar atau setara Rp 15,864 triliun (kurs Rp 13.220), dengan asumsi harga minyak saat itu 70 dolar AS per barel.

“Kalau saat ini harga minyak rata-rata di bawah 45 dolar AS per barel, tentu kalau Pertamina serius melakukan negosiasi bisa dapat harga di bawah USD 1 miliar,” terang Yusri.

Tapi, peluang itu sekarang sudah tertutup dan hilang disebabkan pada batas terakhir Pertamina tidak memberikan harga indikasi kepada LukOil. Harganya juga relatif murah.

“Anehnya kenapa Pertamina melepas kesempatan tersebut, hal itulah yang segera harus dijelaskan Pertamina ke publik, sehingga tidak ada kesan membeli Bajay kok seharga dua bus jumbo,” jelas Yusri.

Lantaran kalah cepat, menurut Yusri, kesempatan membeli 30 persen saham LukOil di West Qurna 2 pun ditelikung oleh Petronas, Mitsubishi, dan CNPC.

Situs resmi LukOil menjelaskan, pada 12 Desember 2009, konsorsium LukOil dan perusahaan asal Norwegia, StatOil, memenangkan tender pengembangan Blok West Qurna 2. Diperkirakan cadangan minyak di blok tersebut total mencapai 13 miliar barel, yang dihasilkan dari dua formasi utama, yakni Mishrif dan Yamama. Blok West Qurna Barat 2 adalah salah satu ladang minyak terbesar di dunia.

West Qurna 2 berlokasi di Irak selatan, 65 km di sebelah barat laut dari kota pelabuhan utama Basra. Lapangan migas tersebut ditemukan pada 1973, setelah sebelumnya pada 1970-an ahli geologi asal Soviet (Rusia) melakukan sejumlah kegiatan eksplorasi. Saat ini luasan kontrak area West Qurna 2 mencapai 300 kilometer persegi.

Pada 31 Januari 2010, pengembangan dan kontrak servis produksi (production service contract) untuk West Qurna (Tahap 2) diteken. Kontrak ini telah diratifikasi oleh dewan menteri Irak.

Adapun komposisi pemegang saham blok tersebut adalah, Iraqi South Oil Company (perusahaan BUMN Irak) dan konsorsium termasuk LukOil yang memiliki 75 persen saham, perusahaan asal Irak bernama National Iraqi North Oil Company (25 persen), dan StatOil memiliki 18,75 persen saham sebelum saham tersebut akhirnya pada Mei 2012 dialihkan ke LukOil.

Selanjutnya, pada Januari 2013, amandemen kontrak ditandatangani, antara lain, menargetkan produksi hingga 1,2 juta bph dengan masa produksi 19,5 tahun dan perpanjangan masa kontrak untuk periode 25 tahun.(hen/tempo.co/rmol.id/kompasiana.com)

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.