Sikapi Perkembangan Pembahasan RUU Cipta Kerja, KSPI Nyatakan Dua Juta Buruh Dipastikan Mogok Nasional Mulai 6 Oktober

oleh

URBANNEWS.ID – Setidaknya 32 federasi dan konfederasi di Indonesia telah memutuskan akan melaksanakan unjuk rasa serempak secara nasional yang diberi nama mogok nasional. Belakangan, berbagai elemen serikat pekerja yang lain menyatakan dukungannya dan siap ikut serta dalam pemogokan.

Demikian diungkapkan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal dalam keterangan tertulis yang diterima urbannews.id, Senin (5/10/2020).

Said Iqbal menjelaskan, mogok nasional dilakukan sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.

“Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,” ujar Said Iqbal.

Disampaikan Said Iqbal, sebelumnya ada 10 isu yang diusung oleh buruh dalam menolak omnibus law RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Kesepuluh isu tersebut adalah berkaitan dengan PHK, sanksi pidana bagi pengusaha, TKA, UMK dan UMSK, pesangon, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, waktu kerja, cuti dan hak upah atas cuti, serta jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak outsourcing.

“Sepuluh isu tersebut telah dibahas oleh pemerintah bersama Panja Baleg RUU Cipta Kerja DPR RI selama 5-7 hari dan sudah menghasilkan kesepakatan kedua belah pihak. Dan semalam (3/10/2020) sudah diputuskan oleh pemerintah dan DDPR RI untuk dibawa ke dalam rapat paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi Undang Undang,” ujarnya.

Menyikapi rencana pemerintah dan DPR RI yang akan mengesahkan RUU Cipta Kerja dalam sidang paripurna DPR RI, kata Said Iqbal, maka KSPI dan buruh Indoneaia beserta 32 federasi serikat buruh lainnya menyatakan Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan akan mogok nasional MOGOK pada tanggal 6 sampai 8 Oktober 2020 sesuai mekanisme UU No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dengan Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. 

“Dasar hukum lainnya untuk mogok nasional ini adalah UU No 21/2000 tentang SP atau SB yang dalam pasal 4 berbunyi bahwa salah satu fungsi serikat pekerja adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan. Selain itu juga dipakai UU tentang HAM dan UU tentang hak sipil dan politik masyarakat,” ungkap Said.

Baca Juga  Telkomsel Teruskan Dukungan untuk Penyaluran Program Bantuan Kuota Data Internet 2021 dari Kemendikbud RI

Dikatakan Said, mogok nasional ini akan diikuti sekitar lima juta buruh di 25 provinsi dan hampir 10 ribu perusahaan dari berbagai sektor industri di seluruh Indonesia, seperti industri kimia, energi, tekstil, sepatu, otomotif, baja, elektronik, farmasi, dan lainnya.

Menurut Said Iqbal, selain aksi mogok nasional, buruh juga akan mengambil tindakan strategi lainnya sepanjang waktu sesuai mekanisme konstitusi dan perundang undangan yang berlaku. Buruh tidak akan pernah berhenti melawan sepanjang masa penolakan RUU Cipta Kerja yang merugikan buruh dan rakyat kecil.

“Dari 10 isu yang disepakati oleh pemerintah dan DPR, KSPI mencermati, katanya tiga isu yaitu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha dan TKA dikembalikan sesuai dengan isi UU 13/2003,” kata Said Iqbal.

Tapi terhadap tiga isu itu, lanjut Said Iqbal, harus diperiksa kembali kalimat yang dituangkan ke dalam pasal RUU Cipta Kerja tersebut, apakah merugikan buruh atau tidak. 

Namun demikian, terang Said Iqbal, terhadap tujuh hal yang lainnya, buruh Indonesia menolak keras dan tidak menyetujui hasil kesepakatan tersebut. 

Dibeberkan Said Iqbal, ketujuh isi yang telah disepakati pemerintah bersama DPR yang ditolak oleh buruh antara lain adalah;

  1. UMK bersyarat dan UMSK dihapus. 

“Buruh menolak keras kesepakatan ini. UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Karena UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya. Jadi tidak benar kalau UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Karena kalau diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam,” kata Said.

“Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” lanjutnya lagi.

Baca Juga  Janji Kedaulatan Pangan Jokowi Makin Jauh dari Jangkauan, Itikad dan Komitmen Prabowo Makin Jelas dan Tegas

Karena itu, kata Said, UMSK harus tetap ada. Tetapi jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Jadi UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada fairnes.

Dikatakan Said, perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Dimana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja sesuai kemampuan sektor industri tersebut. 

“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ujar Said Iqbal.

  1. Buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Dimana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. 

Dalam hal ini Said Iqbal mempertanyakan, dari mana BPJS mendapat sumber dananya? Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru yaitu 19 bulan upah dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan tidak masuk akal. Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan.

“Bisa dipastikan BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP pesangon dengan mengikuti skema ini atau dengan kata lain dibuat aturan baru skema pesangon untuk tidak bisa dilaksanakan di lapangan,” kata Said Iqbal.

  1. PKWT atau kontrak seumur hidup tidak ada batas waktu kontrak. Buruh menolak PKWT seumur hidup.
  1. Outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Padahal sebelum, outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan. Buruh menolak outsourcing seumur hidup.

Menurut Said Iqbal, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup menjadi masalah serius bagi buruh. 

Dia mempertanyakan, siapa yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing? Tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuk dirinya sendiri dengan membayar iuran JKP. 

Baca Juga  Azis Syamsuddin: KKB Papua Bisa Dikategorikan Kelompok Terorisme

Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, kata Said, buruh kontrak yang mendapat kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal satu tahun. Pertanyaannya, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan kompensasi.

“Apalagi buruh outsourcing, siapa yang akan membayar JKP-nya? Sebab mustahil agen outsourcing bersedia membayar JKP buruh. Apalagi kalau outsourcing dikontrak agen di bawah satu tahun atau perusahaan pengguna pekerja outsourcing mengembalikan ke agen sebelum habis masa kontraknya, makin tidak jelas siapa yang harus membayar JKP-nya?,” ulas Said.

Belum lagi, kata Said, siapa yamg membayar upah sisa kontrak dari karyawan kontrak dan pekerja outsourcing kalau kontraknya diputus di tengah jalan sebelum habis masa kontrak yang diperjanjikan pengusaha? Apakah pengusaha atau agen outsourcing mau membayar? 

“Satu hal yang pasti, dengan DPR setuju dengan karyawan kontrak dan pekerja outsourcing seumur hidup berarti no job security atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia. Lalu dimana kehadiran negara dalam melindungi buruh Indonesia termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa kepastian masa depannya dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup,” ulas Said.

Sekarang saja, kata Said, jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70% sampai 80% dari total buruh yang bekerja di sektor formal. 

“Dengan disahkannya omnibus law, apakah mau dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi?” Tegas Said Iqbal.

  1. Waktu kerja tetap eksploitatif. Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif.
  1. Hak cuti hilang dan hak upah atas cuti hilang. Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang.
  1. Karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang.

“Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak dua juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing,” tegas Said Iqbal.(hen)

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.