CERI: Apakah Menteri BUMN dan Pertamina Holding Berani Kasih ‘Kartu Merah’ Dirut PGN?

oleh

URBANNEWS.ID – Perilaku Dirut PT PGN Tbk Suko Hatono patut disesalkan. Ia terbukti benar telah mengadakan pertemuan dengan Dirut PT Isar Gas dan Dirut PT Rukun Rahajar Tbk Djauhar Maulidi sekitar akhir September 2020. Hal itu sesuai pengakuannya di dalam berita majalah Gatra terbitan 15-21 Oktober 2020 edisi Anak & Mantu Megawati di Blok Rokan.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman kepada urbannews.id, Minggu (18/10/2020).

“Maka pertemuan itu dapat diklasifikasikan pelanggaran berat terhadap prinsip Good Corporate Governance (GCG), sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor 1 tahun 2011,” ungkap Yusri.

Menurut Yusri, patut diduga pertemuan itu telah mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan antara hubungan dekat secara pribadi Suko Hartono dengan Iswan Ibrahim. Sebab, terungkap juga bahwa Suko sempat beberapa bulan berkarir di PT Isar Gas, pascadicopot dari Dirut Pertagas pada 16 Mei 2018.

“Iswan sebagai Dirut PT Isar Gas adalah sebagai kompetitor Djauhar sebagai Dirut PT Rukun Raharja, yang kedua perusahaan ini masih dalam proses beauty contest yang sedang dilakukan Pertagas hingga saat ini. Sehingga pertemuan itu adalah ‘bed contest’, dan tanpa bermaksud menuduh, maka peran Suko sebagai Dirut PGN sangat bisa mengintervensi dan menolak atas segala keputusan yang telah ditetapkan oleh Pertagas dalam mengusulkan mitra investasi terpilih ke PGN untuk membiayai 25% dari nilai USD 300 juta, karena usulan itu harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dirut PGN untuk bisa ditetapkan sebagai mitra investasi,” beber Yusri.

Dikatakan Yusri, meskipun alasan Suko bahwa acara pertemuan itu hanya untuk silahturami sebagai sahabat lama sekalian membahas isu-isu miring, adalah alasan yang tak masuk akal sehat, karena pertemuan itu dilangsungkan pada saat PSBB ketat diberlakukan oleh Gubernur DKI.

“Kalaupun alasan untuk acara silahturahmi sesama temen lama dan sekalian membahas isu-isu miring itu dalam situasi PSBB ketat, maka sangat bisa dilakukan secara virtual dengan zoom meeting dengan mengajak banyak pihak tentu lebih aman bagi kesehatan di saat pemdemi Covid 19. Tentu pertanyaannya mengapa harus ketemu tatap muka dan terbatas pesertanya? Tentu pertemuan itu memancing kecurigaan publik ada agenda lain di balik pertemuannya,” ungkap Yusri.

Menurut Yusri, pertemuan itu adalah melanjutkan rencana pertemuan pertama yang awalnya gagal dilakukan sekitar pada 7-8 September 2020. “Infonya kegagalan pertemuan itu disebabkan ada supir salah satu dari mereka terdeteksi reaktif covid 19,” beber Yusri.

Apalagi, kata Yusri, di dalam konten di akhir wawancara Gatra tersebut, Suko terkesan mengirim pesan ancaman halus kepada pihak terkait, bahwa jika bermitra tidak memberikan manfaat bagi korporasi atau perusahaan dan malah membawa masalah hukum di kemudian hari, lebih baik tidak bermitra sekalian. Suko mengatakan PGN masih punya kemampuan keuangan yang baik untuk project financing scheme.

“Sehingga terkesan kental pernyataan Suko di atas bias, alias tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri, karena jelas berdasarkan kajian keekonomian proyek investasi 367 km itu dari tarif toll-nya memberikan NPV atau Nett Present Value mencapai USD 181, 32 juta kalau Pertagas tidak mengajak mitra. Kalau bermitra 20% saja pendapatannya turun menjadi USD 145,06 juta. Sedangkan angka IRR atau Internal Rate of Return 16,4%, bahkan IRR bisa mencapai 20% apabila dalam belanja barang pipa tidak melakukan subkontrak dari PT Krakatau Steel kepada dua pihak lainnya, PGASol dan PDC sebagai kontraktor EPC tidak menunjuk langsung subkontraktornya, karena kami dapat informasi ada dugaan penyimpangan telah terjadi,” ulas Yusri.

Padahal, kata Yusri, menurut keterangan Suko, PGN cukup mudah melakukan project financing scheme. “Maka pertanyaannya mengapa tidak dilakukan tindakan itu? Mengapa malah menyetujui porsi mitra 25% di dalam FID atau Final Investment Desicion yang Suko setujui dan sudah ditandatangani,” ungkap Yusri.

Lucunya lagi, sambung Yusri, bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Suko kepada Gatra, malah berdasarkan info beredar luas ada pesan lisan dari Suko ke Dirut Pertagas Wiko Migantoro agar membuat kajian porsi mitra dinaikan dari 25% menjadi 49%. “Kalau informasi ini benar-benar terjadi, tentu cilaka 12,” kata Yusri.

Yusri melanjutkan, menurut informasi yang beredar luas, Direksi Pertagas ternyata telah mempresentasikan hasil penilaian pemilihan kepada dewan komisarisnya pada pertengahan September.

“Bahkan hasilnya sudah diketahui oleh Suko sebagai Dirut PGN, namun anehnya di berbagai kesempatan Suko menyatakan belum dilaporkan oleh Pertagas, maka pertanyaan kalau belum dilaporkan mengapa Suko sebagai Dirut PGN tidak menegor Dirut Pertagas?,” ungkap Yusri.

Selain itu, sambung Yusri, ternyata pada Jumat 16 Oktober 2020, Suko melakukan langkah tak lazim. Ia mendadak tanpa prosedur yang benar dan melanggar GCG mengumumkan akan melantik Rosa Permata Sari yang selama ini menjabat Direktur Teknik Operasi Pertagas untuk menjabat sebagai Project Manager Office (PMO) di PGN. Namun langkah itu terhenti mendadak ketika Komisaris Utama PGN Achandra Tahar menegor langkah teledor tersebut.

“Oleh sebab itu, Ahok jangan merem matanya, saat ini ditantang apakah berani dia menurunkan tim investasi dan komite audit yang di bawah kewenangan Dewan Komisaris Pertamina Holding untuk menelisik semua informasi yang berkembang untuk bisa ditertibkan, bahkan jangan takut untuk berani mengeluarkan ‘kartu merah’ bagi siapa pun yang ditemukan terlibat membuat kebijakan investasi yang menguntungkan orang lain dan merugikan Pertamina pada akhirnya,” ungkap Yusri.

Apalagi, lanjut Yusri, PT PGN Tbk dengan saham publik 43,04%, melakukan pelanggaran prinsip GCG di era kepemimpinan Dirut Suko Hartono, akan menjadi preseden buruk bagi rencana Pertamina Holding yang akan akan melakukan IPO bagi sub holdingnya.

“Kami adalah bagian dari anggota koalisi penjaga sumber daya alam bersama Serikat Pekerja Pertamina Bersatu sejak tahun 2013 sampai dengan hari ini berjuang bersama untuk mendesak Pemerintah agar semua blok migas yang akan berakhir kontraknya harus diserahkan kepada Pertamina, yaitu mulai Blok Mahakam hingga Blok Rokan,” ungkap Yusri.

Sebagai bukti, kata Yusri, pada akhir Juli 2019, pihaknya melaporkan secara resmi Menteri ESDM ke KPK, akibat telah memperpanjang operator Blok Coridor Grisik Sumsel kepada Conoco Philips. Padahal seharusnya sangat bisa diserahkan kepada Pertamina atau Saka Energy anak usaha PT PGN.

“Kalaulah alasan pemerintah tak percaya kepada Pertamina untuk mengelolanya, maka pertanyaannya, mengapa Pertamina disuruh berburu blok migas di luar negeri yang ternyata banyak terjadi proses dugaan ‘hengki pengkinya’,” ungkap Yusri.

Sehingga, lanjut Yusri, meskipun pihaknya sering mendapat ancaman akan dipidanakan akibat sering memberitakan dugaan penyimpangan ini, demi kepentingan rakyat banyak, maka tidak satu sentimeter pun pihaknya mundur untuk tidak mengungkapkannya.

“Oleh sebab itu, semua perjuagan itu dengan penuh resiko dan tak dapat imbalan apapun, kecuali hanya dapat minum kopi dan makan apa adanya bersama Serikat Pekerja, maka wajar kami sangat peduli dan tersinggung apabila buah dari semua perjuangan kami selama ini untuk merah putih telah dikotori oknum-oknum pejabat Pertamina bekerja sama dengan pemburu rente dalam mengelola blok migas,” ungkap Yusri.

Menurut Yusri, publik harus tau, bahwa investasi pipa blok Rokan masuk ranah bagian aktifitas hulu. Kalau terjadi proses ketidakefisanan dalam investasi ini, maka dia akan menyumbang semakin mahal biaya pokok produksi (BPP) minyak per barel dari Blok Rokan untuk diolah kilang Pertamina yang terlanjur tidak efisen.

“Ujungnya selama 20 tahun akibat minyak mentah dan proses kilang BPP-nya tinggi, maka konsumen BBM jangan berharap bisa menikmati harga BBM murah ketika harga minyak sangat murah, seperti yang kita alami baru-baru ini. Jadi Jangan ada dusta diantara kita,” beber Yusri.(hen)

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Professional Journalist