Urgensi Negara Menundukkan Media Massa dengan Regulasi yang Ketat dan Konsisten

oleh
uc?export=view&id=1nSWO4McZmcmeuO PnON0iLetpKFaXy0R
M Hatta Taliwang. foto/tirto.id

KETIKA Aksi Damai Bela Islam berlangsung pada 4 November 2016, di depan Istana Negara, yang diikuti ratusan ribu orang, salah satu pengalaman unik yang kami saksikan saat kami baru sampai di Jalan Merdeka Selatan adalah teriakan-teriakan massa yang berbunyi “Usir Metro Tipu! Usir Metro Tipu!”. Teriakan tersebut berlangsung di depan layar sebuah media TV lain, yang sedang meliput acara aksi damai.

Teriakan massa mengindikasikan telah terjadi kejengkelan dan kemarahan terhadap salah satu televisi nasional, yang diduga milik salah satu konglomerat dan pemberitaannya dianggap merugikan umat Islam Indonesia.

Dari pendengaran kami atas massa yang marah tersebut, ada beberapa penyebab kemarahannya, antara lain:

Pertama, media televisi tersebut dianggap memanipulasi berita, misalnya mengecilkan jumlah massa aksi pada demo pertama berlangsung, dengan menyebut hanya sekian ribu peserta, mesikpun banyak kalangan menyebut puluhan atau ratusan ribu.

Kedua, media televisi tersebut membesar-besarkan soal sampah pasca-demo, sementara pengerusakan lingkungan secara massif akibat reklamasi Pantai Jakarta tidak diberitakan dengan kritis.

Ketiga, media televisi tersebut dianggap cenderung memojokkan kelompok Islam tertentu, dengan menyajikan gambar-gambar kekerasan, padahal peristiwa terjadi karena provokasi pihak tertentu yang sengaja memancing. Gambar-gambar bercitra negatif tersebut disiarkan berulang-ulang, namun tuntutan substansi dari demo tidak disiarkan. Sehingga yang tersampaikan kepada publik adalah aksi kekerasan saja.

Dari peristiwa dan kisah tersebut, bahwa menurut pandangan umat Islam, media televisi tersebut tidak proporsional dalam menyampaikan berita dan menimbulkan kerugian moril besar. Pemberitaan pun cenderung dirasakan sebagai upaya untuk penyudutan Islam di Indonesia. Dengan demikian, menjadi penting bagi pemerintah untuk melakukan pengaturan atas media massa, khususnya televisi, jika kalau dibiarkan seperti saat ini, maka dapat terjadi kekacauan informasi yang diakibatkan oleh pemberitaan media massa, karena penyampaian berita yang tidak berimbang terhadap kelompok masyarakat tertentu. Ini bertentangan tujuan kita bernegara yang antara lain untuk membangun masyarakat adil dan beradab

Media Massa: Antara Kepentingan Publik dan Kepentingan Pemilik Modal

Jimmy Silalahi anggota Dewan Pers menyatakan, bahwa mayoritas pengaduan masyarakat ke Dewan Pers adalah tentang pemberitaan yang tidak berimbang dan kekerasan terhadap jurnalis akibat pemberitaan. Sikap tidak objektivit jurnalis disebabkan arah pemberitaan yang disetir sesuai keinginan pemilik modal, karena regulator penyiaran sebagai pemegang amanat UU Penyiaran wajib menindak tegas terkait adanya monopoli kepemilikan media.

Sementara itu, Sunarto memaparkan peta kepemilikan media di Indonesia, kelompok usaha media dominan saat ini adalah Jawa Pos Group, Kompas Gramedia Group, dan Global Mediacom (MNC Group). Dalam hal pemilik media yang berperan sebagai pemimpin umum atau pemimpin redaksi, maka mereka berpengaruh langsung terhadap isi pemberitaan, apa saja yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan oleh wartawannya. Kepentingan ekonomi dan politik para pemilik media akhirnya tampak lebih dominan dibandingkan dengan kebijakan redaksi.

Dari sumber lain seperti ditulis oleh Datuak Alat Tjumano, peneliti dari Lembaga Politik dan Demokrasi, menyatakan bahwa sorotan terhadap dampak konglomerasi media massa mulai mengemuka menjelang Pemilu 2004 dan berlanjut hingga sekarang.

Peranan media massa baik cetak maupun elektronik yang strategis dalam sosialisasi dan pencitraan politik membuat semua kekuatan politik berupaya memanfaatkan dan menguasai media massa. Persoalannya, tidak semua partai politik memiliki tokoh yang menguasai media massa terutama private ownership media, sehingga dikhawatirkan masuknya para pemilik media massa ke kancah politik akan menimbulkan situasi yang tidak fair dan menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi, karena monopoli media massa untuk kepentingan politik partai atau tokoh tertentu.

Baca Juga  Telkomsel Dukung Program Magang Kampus Merdeka, Perkuat Pengembangan Talenta Indonesia Berdaya Saing

Fenomena ini tidak lepas dari terjunnya sejumlah pebisnis media dalam politik kepartaian seperti Hary Tanoesoedibyo pemilik MNC Group (RCTI, MNC TV, dan Global TV) yang bergabung ke partai Hanura, Aburizal Bakrie pemilik TVOne dan ANTV yang sekaligus menjabat posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar, maupun Surya Paloh sang pemilik Media Group (Metro TV dan Media Indonesia) yang kini juga sebagai Ketua Umum Partai Nasdem.

Munculnya kekhawatiran itu bukanlah tanpa alasan. Dalam sistem demokrasi, media massa dapat menjadi kekuatan sosial yang menjalankan fungsi pengawasan sosial jika dikelola dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang ketat. Namun, besar pula kemungkinan media massa menjadi kekuatan yang mengabdi kepada kepentingan ideologi politik modal, yang menggerakannya sekaligus tunduk pada mekanisme pasar guna menggapai keuntungan yang maksimum.

Dalam konteks itu, konglomerasi media massa di Indonesia memperlihatkan bagaimana media massa didominasi oleh kepentingan politik pemiliknya sekaligus menjadi instrumen bisnis meraup keuntungan melalui komodifikasi informasi dalam pasar yang oligopolistik.

Konglomerasi dan cross ownership (kepemilikan silang) dalam industri media massa sebenarnya telah diatur ketat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Meski Undang-Undang ini memberikan batasan terhadap peluang konglomerasi dan cross ownership, guna melindungi publik dari homogenisasi dan monopoli informasi, namun secara faktual aturan yang tersedia belum mampu mengatasi “keganasan” bisnis media massa. Sebagaimana dikatakan Giddens, bahwa dalam demokrasi, pemilik media merupakan kekuatan yang sulit untuk ditundukan.

Konglomerasi dan cross ownership dalam industri media massa tidak akan menimbulkan persoalan, ketika media massa dikelola secara profesional sesuai dengan azas dan prinsip jurnalistik yang berlaku universal, yakni objektivitas, akurat, adil dan berimbang, serta dapat menjaga netralitasnya.

Situasi media massa yang demikian, dapat memperkuat demokratisasi karena terjadinya luberan informasi yang akurat dan kredibel, sehingga masyarakat mengalami perkembangan field of reference dan term of reference, yang penting bagi konsiderans dalam keputusan dan tindakan kritis terhadap semua fenomena yang dialami.

Hal ini mengandaikan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk memfilter dan menyeleksi informasi secara kritis, sehingga dapat menjaga jarak dari homogenisasi yang dikonstruksi media serta efek agenda setting yang tidak menutup kemungkinan dimainkan oleh media massa.

Konflik Kepentingan

Konflik kepentingan terjadi ketika media massa ditunggangi kepentingan pemiliknya. Menurut Fortunato (2005), pemilik modal dapat menentukan dan mempengaruhi konten media yang ditransmisikan ke publik, karena penguasaannya terhadap dukungan anggaran dan organisasi media, proses seleksi dan framing, serta kekuasaan atas personalia yang mengelola media.

Dengan kekuasaan yang dimiliki, media massa menjadi sarana untuk menggiring perhatian khalayak memperhatikan isu-isu tertentu, termasuk mengubah perhatian khalayak dari satu isu ke isu lainnya sesuai kepentingan politik pemiliknya (Cohen, 1963).

Transmisi informasi kemudian menjadi kebijakan pemilik media melalui seleksi dan framing. Pemilik media menentukan informasi mana yang akan dikonsumsi oleh publik, kapan waktunya, berapa lama durasinya, seberapa sering intensitasnya, guna mendukung agenda setting kekuatan politik yang diwakilinya. Bahkan, media massa dapat digunakan sebagai sarana black campaign untuk mendiskreditkan lawan-lawan politik dari pemilik media.

Baca Juga  RAPP Raih Penghargaan Stan Terbaik di Pelalawan Expo 2019

Potensi konflik kepentingan dalam konglomerasi media massa secara faktual dapat dilihat dari munculnya sikap media massa yang cenderung partisan dan tidak netral dalam pemberitaan. Keberadaan Aburizal Bakrie sebagai pemilik TV One dan ANTV sekaligus Ketua Umum Golkar sedikit banyak memberi insentif politik tersendiri baik bagi kepentingan politik Aburizal Bakrie maupun Golkar. Meski tahapan kampanye Pemilu 2014 belum dimulai, mereka sudah dapat memanfaatkan media massa yang dikuasai guna sosialisasi, pencitraan, melawan opini sekaligus propaganda politik, dengan menyeleksi informasi yang akan diberitakan pada publik melalui media mereka.

Begitupula dengan MNC Group yang gencar menopang pencitraan politik Hanura maupun Wiranto dan Hary Tanoesudibyo, yang telah mendeklarasikan diri sebagai pasangan Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2014. Hal serupa terjadi dengan media massa di bawah kendali Media Group, yang sulit untuk menghindari tudingan sebagai mesin kampanye dan pencitraan Surya Paloh maupun Partai Nasdem.

Meski secara formal media massa di Indonesia seperti MNC Group, Bakrie Group, maupun Media Group tidak pernah menyatakan mereka memiliki hubungan afiliatif maupun partisan terhadap kekuatan politik, namun relasi antara pemilik modal dan sekaligus merangkap politisi, membuat para pengelola media massa tidak bisa netral dari kepentingan politik pemilik modalnya. Sehingga konflik kepentingan antara media massa yang harus tunduk pada kaidah-kaidah jurnalistik dalam menyajikan informasi kepada publik dengan kepentingan politik dari pemilik media tersebut menjadi tidak terhindarkan.

Netralitas dan Akuntabilitas Penting Bagi Demokrasi

Memang tidak semua pemilik konglomerasi media massa menjalin relasi afiliatif dengan kekuatan politik. Sejumlah pemain media besar seperti Trans Corp, SCTV, maupun Indosiar masih menunjukan sikap politik relatif otonom dari perebutan pengaruh politik atau setidaknya relatif berpandangan moderat terhadap isu-isu politik.

Keberadaan media massa yang netral penting bagi peningkatan kualitas demokratisasi politik. Netralitas media massa memberikan kesempatan yang fair dan setara bagi semua kontestan politik, untuk memanfaatkan ruang publik dalam mempengaruhi masyarakat.

Begitupula masyarakat, memiliki akses informasi yang akurat, kredibel, dan beragam. Prinsip perlakuan yang fair dan setara inilah kondisi yang diperlukan dalam memperkuat demokrasi (Lively, 1975). Hal itu dapat terjadi jika para pemilik media dapat memisahkan antara kepentingan politiknya dan profesionalisme jurnalistik yang harus dijalankan oleh awak media.

Akuntabilitas publik juga merupakan hal yang penting bagi media massa. Harus disadari bahwa frekuensi yang digunakan oleh media massa, terutama media elektronik merupakan barang publik yang dipinjam, oleh karenanya penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan memberikan manfaat kepada publik.

Kebermanfaatan media massa bagi publik menyangkut fungsi penting media massa, baik dalam akses informasi, hiburan, edukasi maupun pengawasan sosial, terhadap jalannya kekuasaan. Oleh karena itu, penegasan netralitas dan akuntabilitas publik bagi media massa tentu harus dirumuskan secara tegas, termasuk muatan sanksi atas pelanggarananya dalam aturan penyelenggaraan kampanye, sehingga setiap partai politik memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan media massa, sekaligus mencegah terjadinya monopoli dan hegemoni informasi oleh segelintir elit maupun kekuatan politik tertentu. Tanpa netralitas dan akuntabilitas publik media massa, niscaya konglomerasi media massa menjadi ancaman bagi demokratisasi.

Menurut Robby Milana, dalam pendekatan ekonomi politik, kepemilikan media mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media, dan efek, yang ditimbulkan media kepada masyarakat, karena itu pertanyaan-pertanyaan mengenai “apakah perbedaan pemilik media berarti adanya perbedaan pada konten media?” atau “apakah perbedaan pemilik media dapat memberikan implikasi yang berbeda pula kepada masyarakat selaku audience media?” menjadi sangat relevan.

Baca Juga  Seminar Seru di ITB dalam Konteks PLN Tahun 2008

Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol media sebagai sebuah hubungan tidak langsung. Bahkan pemilik media, menurut Meier, dapat memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan legitimasi terhadap ketidaksetaraan pendapatan, kekuasaan, dan privilege.

Ecep S. Yasa mengatakan, pemilik media dapat mempengaruhi independensi media. Independensi menjadi area abu-abu. Bisa atau tidak sebuah paket berita ditayangkan menjadi kewenangan pemilik media. Hal ini kemudian sangat bergantung pada ideologi, kepentingan, dan afiliasi politik pemilik media.

Sejak abad ke-20, kepentingan kapital telah menentukan arah tumbuhnya media, bahkan besar dan kuatnya media. Pemilik media adalah para businessman, mereka merupakan pemilik modal, yang mendirikan atau turut mendirikan usaha media dan berupaya untuk mencari keuntungan ekonomi melalui usahanya.

Struktur organisasi media menjadi terkait dengan sistem ekonomi kapitalis, yang membawa tujuan bisnis kompetitif dari pemilik industri media. Setiap media menghitung laba yang didapatkan dari tiap kerja pemberitaannya. Maka, pemberitaan pun diseleksi dengan menggunakan asumsi riset pasar. Kerja pemberitaan bukan lagi dihitung hanya berdasar ongkos operasional liputan.

Dalam menjalankan usahanya, media atau pemilik media bersinggungan dengan kekuasaan. Para pemilik media kerap ditemukan sebagai elite-elite bisnis industri, yang berhubungan erat dengan para elite pemegang kekuasaan. Bisnis mereka kerap terkait dengan kebijakan elite kekuasaan. Hal itu mengakibatkan ‘politik dagang,’ para pemilik media dituding ikut melestarikan status quo kekuasaan para tokoh politik rekanan mereka.

Jika demikian, maka kekuasaan pemilik media, meski secara etik dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat selaku audience.

Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi, muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar dan politik. Produk pemberitaan menjadi margin komoditas laba ekonomi sekaligus margin kepentingan politik. Hal itu, pada banyak kasus, telah mereduksi kemandirian institusi media. Akibatnya, terjadi kasus-kasus liputan media berhadapan dengan kepentingan politik dan bisnis. Tema-tema liputan disesuaikan dengan orientasi tersebut.

Dampak lainnya adalah perubahan arah pemberitaan. Area pemberitaan hard journalism berubah jadi soft journalism. Kisah-kisah soft news dan human interest menjadi buruan wartawan. Liputan politik, seperti korupsi dan manipulasi, serta nepotisme, menjadi fleksibel dan adaptabel. Berita-berita tersebut tidak segera atau bahkan terkadang tidak dapat disiarkan. Tapi kerap dihambat, difilter, diatur, atau dikontrol.

Kesimpulan dan Saran

Membaca uraian dan ulasan tentang perilaku media, khususnya media televisi, dengan memperhatikan konflik kepentingan media massa, pemilik modal, dan masyarakat, maka menjadi sangat penting menerapkan yang diajarkan oleh Dosen Komunikasi Pasca Sarjana UMJ DR. Harmonis, yang menyatakan bahwa diperlukan regulasi, yaitu instruksi resmi dan wajib berkenaan dengan struktur (hubungan media dengan yang lain), perilaku atau konten media. Dalam hal ini termasuk monopoli kepemilikan atau kepemilikan silang, batas jumlah iklan, atau persyaratan untuk memiliki izin operasional atau izin televisi atau radio.***

Drs. M. Hatta Taliwang, M.I.Kom

Direktur Institut Soekarno Hatta

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist