Kemuliaan dan Kehinaan Kekuasaan

oleh
8113149C 5A10 4719 BCA1 DEECBF775B8C
Ilustrasi/net


RSOLULLAH SAW diperintahkan membaca dan memahami Al Qur’an Surat Ali Imron 26. Begitu juga dengan kaum beriman yang biasa membaca Al Qur’an. Ayat ini berhubungan dengan hakekat dari kekuasaan dimana manusia selalu berusaha dan berlomba untuk mendapatkannya. Demi kemuliaan dirinya.


Bunyi terjemah ayat tersebut adalah :


“Katakanlah (Muhammad) ‘Wahai Allah Pemilik Kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkau segala kebajikan. Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.


Ada empat hal kandungan utama ayat tersebut, yaitu : Pertama, Allah adalah pemilik dari segala kekuasaan. Kedua, Allah yang memberikan dan mencabut kekuasaan. Ketiga, Allah yang memuliakan dan menghinakan pemegang kekuasaan. Keempat, segala kebajikan yang berhubungan dengan kekuasaan ditentukan oleh Allah SWT.

Baca Juga  20 Tahun Menjadi Anggota DPRD, Tengku Nazlah: Amal Baik Harus Ditorehkan Sepanjang Hayat


Ketika orang berlomba dengan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, maka konten ayat ini menjadi penting. Mengingatkan bahwa kebaikan dan kemulian menurut kita itu belum tentu demikian adanya. Kemutlakan dari kemuliaan itu menurut Allah “tu’izzu man tasya”.Begitu juga kehinaan “tudhilu man tasya”. Keagamaan harus menjadi orientasi.


Dahulu masa Pemerintahan Soekarno sampai1955 masih bagus. Pemilu demokratis. 1959 Dekrit Presiden juga baik. Kembali ke UUD 1945 dengan penghargaan pada kekuatan politik keumatan. “Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945”. Setelah itu terjadi kediktatoran. Demokrasi Terpimpin, Nasakom, dan tahun 1965 dalam HUT PKI berpidato “Subur Subur Suburlah PKI”. Akrab sekali Soekarno dengan PKI. Akhinya kehinaan yang didapat.

Baca Juga  Disebut Tak Jalankan Tugas, Simon Sembiring Balik Tantang Petinggi Inalum, Freeport Hingga Menteri ESDM untuk Dialog Terbuka


Masa Pemerintahan Soeharto sampai pembentukan ICMI ada penghargaan kepada umat Islam. Andai Presiden berhenti saat itu mungkin ceritra kebaikan dominan. Namun para penjilat mendorong untuk terus berkuasa sehingga 1998 dijatuhkan dengan lebih sakit. Begitulah hukum kekuasaan. Saat bagus berhenti mestinya berhenti. Dikira berlama lama membuat mulia padahal sebaliknya.


Masa Pemerintahan setelahnya “datar datar” saja. Kecuali masa Gus Dur yang diturunkan rakyat. Karena mencoba membubarkan DPR itupun didorong oleh kekuatan “kiri” yang nyaman dengan gaya Gus Dur. Kini masa Pemerintahan Jokowi rasanya tidak ada penghargaan terhadap kekuatan politik umat Islam. Jangan campur agama dengan politik, deradikalisasi, intoleransi, hapus pelajaran perang dalam Islam adalah contoh sentimen negatif.


Semestinya Presiden Jokowi membaca tingkat kepercayaan yang rendah. Presiden telah menjadi bahan olok olok. Berdasarkan Tap MPR No VI tahun 2001 seharusnya sekaranglah Jokowi waktunya untuk mundur dari jabatan Presiden. Mungkin nama baik masih bisa diselamatkan. Jika terus menjalankan kekuasaan secara kontroversial seperti akrab dengan RRC, TKA Cina, pindah ibukota, Perppu otoriter, Omnibus Law, dan korupsi merajalela, maka bukan mustahil Jokowi bisa diturunkan secara konstitusional.

Baca Juga  Bos Pabrik Xpander Dinobatkan sebagai CEO Mitsubishi Global


Kembali ke ayat Qur’an Ali Imron 26 di atas maka jabatan-jabatan yang dipegang dan dipertahankan itu belum tentu dapat memuliakan bahkan bisa saja menghinakan. Disini pandangan hidup yang sekularis dan pragmatis telah banyak membuktikan kekeliruannya. Mengabaikan agama dan kekuatan agama di Indonesia justru akan menuai badai yang menyakitkan. Tak terkecuali Jokowi atau siapapun.***


Bandung, 19 Mei 2020
M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.