Perpres JK Nomor 75/2019 Terbit, Peserta Mandiri Sempoyongan

oleh
BPJS Kesehatan
Ilustrasi/foto/kompas.com

Oleh: Dr. Chazali H. Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik-Dosen FISIP UNAS

PERPRES Nomor 75 Tahun 2019, Tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, telah diterbitkan Pemerintah pada tanggal 24 Oktober 2019.

Isi perubahan tidak ada yang berbeda dengan apa yang telah disampaikan oleh Menkeu dalam berbagai kesempatan tentang solusi penyelesaian defisit DJS JKN yang dikelola BPJS Kesehatan.

Dari Perpres perubahan tersebut yang terpenting adalah mulai 1 Agustus 2019, iuran PBI yang menjadi kewajiban Pemerintah Pusat naik dari Rp. 23.000 menjadi Rp.42.000 Per Orang Pe Bulan (POPB).

Untuk membantu Pemda, yang mengalokasikan dana PBI dari APBD, untuk periode Agustus sampai dengan Desember 2019, selisih kenaikan PBI sebesar Rp. 19.000.- dibayarkan oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan ini cukup fair, karena Pemerintah Daerah akan kelabakan jika dibebankan pada APBD Perubahan karena waktu sudah mendekati akhir tahun anggaran.

Sampai di sini langkah Pemerintah Pusat sudah sangat luar biasa. Tidak terbayangkan lompatan kenaikan iuran PBI tesebut, mengingat begitu alotnya kenaikan sejak lima tahun yang lalu.

Bayangkan, pada tahun 2013, DJSN mengusulkan iuran PBI Rp. 27.000/POPB, Pemerintah menetapkan Rp. 19.225.-/POPB.. .Pada tahun 2016, DJSN mengusulkan iuran PBI sebesar Rp.36.000/POPB, Pemerintah memutuskan sebesar Rp. 23.000/POPB.

Tahun ini, DJSN mengusulkan Rp. 42.000/POPB, Alhamdulillah, Pemerintah menerima usulan tersebut bulat 100%, sehingga PBI meningkat dari Rp.23.000.- menjadi Rp. 42.000/POPB.

Secara total, dengan peserta PBI 96,7 juta, berarti ada kenaikan iuran PBI menjadi sekitar Rp. 48.7 triliun per tahun dan dimulai pada awal Agustus 2019.

Bagi BPJS Kesehatan, kebijakan tersebut tentu melegakan. Jajaran BPJS Kesehatan dapat menarik nafas dalam-dalam untuk menghirup oksigen kehidupan, yang sudah mulai berkurang.

Belakangan ini setiap ada pertemuan di daerah antara BPJS Kesehatan dengan stakeholder terkait (Pemda, Faskes, Persi, asosiasi profesi kesehatan), BPJS Kesehatan menjadi sasaran kekesalan dan kekecewaan peserta pertemuan, karena klaim FKTL, sudah berbulan-bulan tidak dibayarkan.

Jawaban para pengelola BPJS Kesehatan juga cukup menyedihkan. “Kami tidak ada niat untuk menunda pembayaran, tetapi uangnya tidak ada”. Ya, jawaban yang sulit untuk diperdebatkan kembali.

Baca Juga  Siap Bangun Pabrik Baru, RNI Buka Peluang Ekspor Produk Alkes

Untuk jangka waktu beberapa tahun ke depan ini, perhitungan besaran iuran PBI tersebut sudah sesuai dengan hitungan keekonomian dan proporsional.

Untuk setahun Pemerintah Pusat dan Daerah mengeluarkan dana APBN dan APBD untuk peserta PBI Pusat dan Daerah, dengan rincian jumlah PBI APBN, 96.713.235. jiwa, dan dari APBD, sebanyak 36.755.541 jiwa. Keseluruhannya 133.468.776 jiwa.

Dengan fasilitas rawat inap kelas III (tidak boleh pindah kelas), total besar iuran PBI adalah Rp. 67,3 triliun (dibulatkan). Angka tersebut diperhitungkan lebih dari 60% sudah mengcover biaya manfaat pelayanan kesehatan. Sisanya tentu dari peserta non PBI (PPU, PBPU, dan BP).

Sampai di sini, urusan PBI sudah clear, dan Pemerintah layak diacungkan jempol atas komitmennya yang tinggi untuk membantu orang miskin dan tidak mampu mendapatkan pelayanan kesehatan JKN, dengan gratis, karena iurannya dibayarkan pemerintah.

Demikian juga untuk PPU Pegawai Pemerintah, swasta dan BUMN, dengan perubahan plafon atas pendapatan menjadi Rp.12 juta, dari sebelumnya Rp.8 juta, dan hitungan gaji bukan saja gapok, dan tunjangan tetap, tetapi bagi pegawai pemerintah berbagai pendapatan lain berupa remunerasi merupakan bagian yang diperhitungkan untuk membayar iuran.

Bagaimana nasib Peserta Mandiri?

Pertama yang ingin saya jelaskan adalah kenapa kenaikan untuk pesera mandiri (PBPU dan BP), naik sampai 100%. Setidaknya ada tiga alasan pemerintah, yaitu pertama, kelompok peserta mandiri inilah yang banyak menggunakan manfaat pelayanan kesehatan, terutama penyakit katastropik yang menyedot dana yang besar. Kedua, karena mereka yang terbanyak menunggak iuran BPS Kesehatan (sekitar 15 juta peserta),

Persoalannya belum didalami apa penyebab mereka menunggak, dan kenapa peserta mandiri paling banyak yang menggunakan pelayanan kesehatan JKN.

Berapa banyak dari mereka yang menunggak karena lemahnya kemampuan membayar, dan berapa banyak yang memang tidak mau membayar. Terutama sesudah selesai mendapatkan pelayanan, dan nanti bayar lagi kalau sakit lagi. Sampai hari ini peta identifikasi ke 15 juta penunggak secara detail belum ada dipublikasikan.

Baca Juga  Perkuat Portofolio Bisnis Perusahaan, PT Elnusa Petrofin Memperoleh Pendanaan Rp 100 Miliar dari PT Bank BTPN Tbk

Alasan ketiga, kenaikan ekstrim tersebut sebagai upaya untuk menutupi lubang defisit yang sudah menganga bertahun-tahun karena persoalan kebijakan pemerintah yang tidak tepat selama ini, terkait besaran iuran PBI.

Adilkah karena kekeliruan kebijakan Pemerintah, dibebankan kepada peserta mandiri yang tertib membayar dan tidak menunggak, untuk menerima akibat berupa kenaikan iuran sampai 100%?

Antisipasi efek Perpres JKN No. 75/2019

Rencana kenaikan iuran peserta mandiri sampai 100% sudah lama disampaikan Pemerintah (Kemenkeu), dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR periode yang lalu. Adapun keputusan Raker tersebut, DPR meminta kepada pemerintah untuk tidak menaikkan iuran peserta mandiri. Karena ada beberapa situasi terkait data terpadu kepesertaan PBI, dan non PBI (mandiri), yang harus diselesaikan lebih dahulu.

Apakah Komisi IX DPR periode sekarang ini, berani meminta Pemerintah menunda kenaikan iuran bagi peserta mandiri yang tercantum dalam Perpres 75/2019, sampai ditemukannya formula iuran yang ideal, proporsional dan tidak meningkat tajam. Mudah-mudahan beranilah!

Kekhawatiran kita, kenaikan iuran peserta mandiri yang meningkat sampai 100% tersebut, dalam beberapa waktu ke depan akan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.

Pihak BPJS Kesehatan, saya duga tidak akan berani mengejar peserta yang menunggak iuran dalam situasi emosional masyarakat sekarang ini. Apalagi semakin banyak yang menunggak karena persoalan ketidakmampuan membayar.

Akan terjadi pergeseran pola pembayaran iuran. Bagi kelas I mandiri, akan berpindah kelas, masuk ke kelas II atau kelas III. Dan yang selama ini kelas II akan bergeser ke kelas III. Dan yang selama ini kelas III nya menunggak, semakin tidak mampu membayar. Untuk kelompok ini BPJS Kesehatan harus bijak dan bekerjasama dengan Kemensos untuk melakukan verifikasi dan validasi apakah memang orang miskin dan tidak mampu yang berhak mendapatkan PBI.

Dugaan saya, di satu sisi BPJS Kesehatan merasa teratasi dengan kenaikan iuran PBI, dan dapat memperbaiki struktur keuangan DJS, tetapi di sisi lain, dengan kenaikan iuran peserta mandiri yang ekstrim di ketiga tingkatan kelas rawap inap, merupakan tantangan yang diberikan Pemerintah kepada BPJS Kesehatan untuk dapat mengatasinya. BPJS Kesehatan berada pada pilihan yang sulit.

Baca Juga  Sambangi Masyarakat Ciamis, Agun Gunandjar Tegaskan Dana Desa Bisa Dimanfaatkan untuk PAUD

Pertanyaan berikutnya, apakah Presiden Jokowi akan mencabut kenaikan tarif peserta mandiri sebesar 100% yang sudah diterbitkan Perpresnya, seperti Perpres sebelumnya tiga tahun yang lalu, karena tekanan DPR dan masyarakat?

Kita berharap Presiden Jokowi dapat berubah pikiran, asalkan pembantunya terutama Menkes, Direktur Utama BPJS Kesehatan dapat meyakinkan Presiden untuk melakukan perubahan tersebut.

Masih ada waktu dua bulan bagi Presiden untuk merubah keputusannya. Harapan kita ada pada Menkes yang baru dr. Terawan. Terkait defisit DJS JKN ini, Menkes Terawan sudah berjanji akan membentuk tim kecil, untuk mencari solusi terbaik, khususnya iuran peserta mandiri.

Menkes dr.Terawan harus mengambil alih peran Menkeu yang selama ini lebih besar berperan terkait dengan kenaikan iuran peseta mandiri. Perlu diingat terkait dengan besaran iuran non PBI, lead-nya adalah Menkes, bukan Menkeu. Kecuali terkait penggunaan APBN, memang Menkeu harus menghitung cermat.

Menkes bersama mitranya DJSN, dan BPJS Kesehatan, dapat menghitung ulang secara jernih, dengan memperhatikan berbagai variable terkait antara lain dukungan faskes, SDM, kemampuan peserta, hitungan aktuaria, dan yang tidak kalah penting variable kebijakan sektor lain yang berdampak pada daya beli dan pendapatan mereka yang katagori mandiri.

Kita juga berharap Menkes dr.Terawan dapat mengkaji ulang atas penggunaan faskes rawat inap ‘single class’. Yaitu kelas standar sesuai dengan perintah UU SJSN (Pasal 23 ayat 4 dan 5).

Tidak sulit bagi Menkes, dalam waktu dua bulan ini juga merupakan momentum yang tepat untuk perubahan Perpres JKN, terkait dengan perubahan kelas rawat inap. Dari berbagai diskusi yang dilakukan, sebagain besar para pemerhati JKN, menyarankan bahwa ‘single class’ yang dipakai adalah rawat inap kelas II, sebagai acuan kelas standar.

Dengan pendekatan ‘single class’ tersebut, persoalan perbedaan kelas, dan perbedaan besaran iuran dapat dihitung kembali dan diyakini besaran iuran peserta mandiri dapat lebih rendah dan terjangkau.***

Makasar, 30 Oktober 2019

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist