LATAR belakang mangkraknya 6.000 MW PLTU PLN berawal pada tahun 2006, Wapres JK tiba-tiba instruksi ke PLN (dilengkapi dengan sebuah Perpres Nomor 72 Tahun 2006) untuk bangun PLTU 10.000 MW.
Karena sifatnya yang mendadak maka proyek ini dinamakan dengan Proyek Percepatan PLTU 10.000 MW atau Fast Track Project 10.000 MW Stage I (disingkat 10.000 MW FTP I). Dan sesuai arahan Wapres saat itu, agar PLN menunjuk Konsursium China (mulai dari Konsultan, Kontraktor dan Bank Pemberi Kreditnya) dalam satu paket Perwujudan PLTU PLN dengan menggunakan EPC System (dan faktanya yang berlangsung adalah System EPC China!).

Apa itu EPC China? EPC China ialah sebuah proyek yang dilaksanakan dengan System EPC (Engineering, Procurement, Construction) atau perencanaan, pengadaan dan tahap konstruksi semuanya dilakukan dalam satu paket dengan menunjuk konsursium kontraktor China, termasuk pembiayaan proyek tersebut konsursium lah yang mencari Bank pendampingnya.
Artinya, saat konsursium kontraktor (China) tersebut ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan, maka perencanaan sama sekali belum ada. Yang ada hanya “Conceptual Design” atau coret-coretan kasar gambar kotak (denah pembangkit 100m x 80 m) dan lokasi di kecamatan mana proyek itu berada!
Padahal biasanya, atau yang selama ini berjalan, bila kami ditunjuk sebagai Pimpro, maka di lapangan kami sudah siapkan gambar-bamar perencanaan, general condition, method of measurement, bill of quantity (termasuk perkiraan volume dan unit price), price contingency (untuk antisipasi inflasi dan kebijakan fiskal lainnya), detail engineering design (DED) dan spesifikasi tekniknya. Bahkan studi Amdal dan ijin Amdal semuanya sudah selesai. Artinya proyek sebelum EPC China ini diterapkan, sudah sempurna perencanaannya!
Nah dalam EPC model China, perencanaan dan Amdal gak ada semua. Kecuali sekali lagi, hanya sebuah conseptual design sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Kelebihan System EPC China ini adalah kontraktor yang mencarikan hutangan untuk pembiayaan proyek tersebut dengan mencarikannya dari Bank China. Nanti tinggal PLN atau pemerintah membayar hutangnya saja ke Bank China tersebut!
Mengapa kami menyebutnya EPC China? Karena EPC yang umum berlaku sebelumnya tetap disiapkan perencanaan secara lengkap termasuk Amdal. Sedang dalam Proyek FTP I 10.000 MW ini perencanaan betul-betul dimulai dari nol!
Kontrak yang ditandatangani Direksi PLN dan kontraktor China saat itu hanya berisi klausul secara umum, total biaya pelaksanaan, dan schedulle. Tetapi tidak dilengkapi gambar perencanaan dan spesifikasi teknik sebagaimana pada umumnya sebuah proyek.
Dengan kondisi tahap perencanaan dan Amdal yang masih nol besar seperti itu, maka acuan pekerjaan betul-betul tidak ada. Perencanaan sebagai pegangan dalam pelaksanaan proyek, baru disusun bersama antara Pimpro dan kontraktor saat pelaksanaan fisik lapangan sudah dimulai. Dengan demikian yang terjadi adalah perdebatan yang bertele-tele antara Pimpro dan kontraktor karena sudut kepentingan yang berbeda.
Pimpro pasti menginginkan konstruksi yang aman, sehingga gambar dan spesifikasi yang diinginkan adalah cenderung lebih besar dan lebih kuat. Sementara kontraktor menginginkan semurah mungkin dengan konstruksi sekecil mungkin dan kualitas tidak diperhatikan agar keuntungan lebih besar.
Dalam kondisi seperti ini dengan mudahnya kontraktor melakukan fight accomply dengan alasan harga penawaran yang terlalu rendah dan schedule yang mepet!
Kondisi Setelah Serah Terima Proyek
Dengan latar belakang sistem pelaksanaan proyek yang menggunakan EPC China tersebut, maka sudah bisa ditebak hasilnya tidak optimal. Dan ini baru terlihat setelah sekian bulan proyek tersebut diserahterimakan dari kontraktor ke PLN (serah terima proyek pembangkit PLTU rata-rata terjadi antara 2010-2012 atau saat Dirut PLN Dahlan Iskan).
Pada umumnya performance mesin pembangkit saat COD bagus ketika dihidupkan, dan bunyinya normal, semua dalam kondisi bagus 100 persen.
Tetapi setelah dua atau tiga bulan setelah COD, terjadilah keanehan dimana bila mesin pembangkit dihidupkan maka bunyi mesin tetap normal dan halus tetapi arus listrik atau stroom tidak ada. Atau kalau ada arus listriknya maka AF (Available Factor) rata-rata hanya 40 persen. Artinya 60 persen pembangkit tersebut rusak! Kerusakan semacam ini baru diketahui setelah sekian bulan (tidak sampai setahun) setelah COD. Dan karena berbulan-bulan dibiarkan tidak ada perbaikan maka di istilahkan mangkrak!
Karena sehari-hari operator pembangkit dilaksanakan secara sistem outsourcing, maka bisa jadi kerusakan yang tidak kasat mata tersebut tidak diketahui oleh pegawai organik anak perusahaan pembangkit PLN. Dan hanya diketahui oleh tenaga OS saja.
Bisa jadi juga tenaga OS diancam oleh bosnya agar tidak memberitahukan kerusakan pembangkit tersebut ke pegawai organik PLTU. Maka wajar bila di kemudian hari karyawan organik Indonesia Power dan PJB mendemo program Lease Backed dari Management. Karena saat itu Direksi IP dan PJB hanya mengatakan bahwa sesuai perintah Direksi PLN Holding maka pembangkit-pembangkit bekas Proyek PLTU FTP I harus diserahkan ke Kontraktor China (Shen Hua, Chinadatang dll) dan PLN membeli stroom ke kontraktor seperti beli stroom ke IPP, alasannya agar lebih effisien. Dan tidak berterus terang kalau ada kerusakan mesin atau mangkrak sebagaimana cerita di atas.
Asal Usul Program Lease Backed Pembangkit
Kerusakan halus pembangkit yang tidak terdeteksi oleh para karyawan organik tersebut kemudian dilaporkan oleh bos OS operator pembangkit ke Direksi Indonesia Power dan Direksi PJB.
Selanjutnya Direksi IP dan PJB melapor masalah ini ke Direksi PLN pada 2014. Selanjutnya salah satu Direksi PLN saat itu menugaskan sekelompok kontraktor China yang didampingi sebuah BUMN Sekuritas serta Kantor Lawyer terkenal di Jakarta membuat kajian terkait pembangkit mangkrak tersebut beserta estimasi biaya perbaikannya.
Tepat terpilihnya Jokowi sebagai Presiden RI pada akhir 2014, kajian itupun selesai dan Direksi PLN langsung melaporkan masalah 6.000 MW yang mangkrak tersebut ke Jokowi.
Maka pada saat kunjungan pertama Jokowi sebagai Presiden RI ke China pada awal 2015, dibawa lah masalah pembangkit mangkrak 6000 MW ini ke China untuk dimintakan pertanggungjawaban ke Presiden China Xien Jie Ping atas kekurang ajaran kelakuan kontraktornya saat mengerjakan Proyek 10.000 MW PLTU PLN!***
Denpasar, 25 Februari 2020.
Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST
(Indonesia Valuation for Energy and Infrastructure).