PEKANBARU, URBANNEWS.ID – Kedatangan Menteri BUMN Erick Thohir bersama Wamen 1 Kementerian BUMN Pahala Nugraha Mansury ke Provinsi Riau dalam rangka kunjungan ke Pembangkit Listrik Cogen MCTN di Duri dan juga kunjungan ke Wilayah Kerja Migas Blok Rokan, Selasa (10/8/2021), ditanggapi dengan canda tapi serius oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman.
“Apakah Erick Thohir mau pasang masker di Pembangkit Listrik MCTN, atau merayakan pemberian hadiah oleh PLN kepada MCTN sebesar USD 45 Juta?,” ungkap Yusri Usman kepada wartawan, Selasa (10/8/2021) petang.
“Mengapa harus dikasih masker? Karena ditakutkan pembangkit yang akhirnya diakuisi oleh PLN senilai USD 45 juta dari Chevron Standart Limited (CSL) diduga akan bermasalah, dan berdampak kemana-mana alias menyebar. Mungkin perlu dipasang masker agar tak menyebar,” ungkapnya.
Hal itu, beber Yusri, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Tahun 2006, mengungkap bahwa Energy Service Agreement (ESA) tanggal 1 Oktober 1998 bermasalah alias ilegal kelahirannya, serta saat itu sudah menyatakan negara berpotensi rugi setidak-tidaknya USD 1,23 miliar, malah dalam rekomendasinya diminta diusut siapa-siapa yang ikut melahirkan ESA tersebut.
Akibatnya, lanjut Yusri, bisa disaksikan sekarang bahwa PLN terpaksa membayar senilai USD 45 juta, padahal jika merujuk skema Independent Power Producer (IPP), atau kontrak listrik swasta dengan PLN selama ini, setelah 20 tahun pembangkit itu menjadi milik PLN dan dicatatkan sebagai aset negara.
“Cobalah hitung, jika pembangkit NDC itu jadi milik negara, kemudian diserahkan pada PLN untuk menunjang operasi listrik Blok Rokan, maka dapat dipastikan PLN akan mengenakan tarif sangat murah bagi PT PHR, karena di dalam tarif listrik PLN tidak dihitung lagi komponen A sebagai pengembalian biaya investasi, dan kebutuhan gas untuk pembangkit NDC dipasok oleh PHR dari lapangan Blok Coridor Conoco Phlilips Jambi,” ungkap Yusri.
Jika tarif listrik murah, beber Yusri, akan berdampak biaya pokok produksi per barel minyak yang berasal dari Blok Rokan akan semakin rendah dan murah.
“Sehingga memberikan ruang laba yang besar dari harga ICP setiap barel minyak yang dihasilkan, baik kepada Pertamina dan Perusda pemegang PI 10% serta mitra strategis 39% jika ada,” ulas Yusri.
“Daerah tentu akan mendapatkan DBH jauh lebih tinggi dari biasanya. Sehingga dosa paling besar adalah mengapa temuan BPK tahun 2006 itu tidak ditindaklanjuti untuk menyelamatkan kerugian negara? Sehingga perlu diusut siapa yang harus bertanggungjawab?,” tanya Yusri lagi.
