PEKALONGAN – Penetapan Upah Minimum Kota (UMK) jelang akhir tahun menjadi salah satu hal yang ditunggu oleh masyarakat. Namun, hingga kini, edaran resmi dari pemerintah pusat sebagai acuan Dewan Pengupahan belum turun. Menindaklanjuti hal tersebut, Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Dinperinaker) Kota Pekalongan mengadakan pertemuan rapat koordinasi pembahasan penyusunan UMK Kota Pekalongan Tahun 2025 bersama stakeholder terkait seperti Dindagkop-UKM, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Serikat Pekerja Nasional (SPN), Dewan Pengupahan, Perkumpulan Pengusaha Muslim Indonesia (PPMI) Kota Pekalongan, dan sebagainya, berlangsung di Aula Kantor Dinperinaker setempat, Rabu siang (13/11/2024).
Kepala Dinperinaker Kota Pekalongan, Betty Dahfiani Dahlan mengungkapkan bahwa, saat ini Dinperinaker Kota Pekalongan masih menunggu aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) terkait untuk menetapkan upah minimum kota (UMK) Pekalongan. Menurutnya, rakor ini kali ini dimaksudkan sebagai langkah awal menginformasikan kepada anggota dewan pengupahan bahwa regulasi terkait UMK dari Kemenaker belum turun.
“Jadi, kami harus menunggu dulu sampai aturan tersebut terbit. Meski sudah ada sinyal bahwa peraturan yang berlaku masih sama, yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 51 Tahun 2023 setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tapi kami tetap butuh pegangan secara tertulis,”ucapnya.
Disampaikan Betty, dari adanya keputusan MK terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), ada beberapa aturan dalam Permenaker Nomor 51 Tahun 2023 yang akan diubah termasuk indeks tertentu dalam formulasi UMK.
“Formulasi UMK sebenarnya tidak terlalu disinggung, tapi indeks tertentu alfanya yang ada perubahan,”ujarnya.
Dijelaskan Betty, dalam pertemuan ini ada beberapa usulan yang disampaikan diantaranya dari segi pemberi kerja (pengusaha) dan pekerja. Dari hal tersebut, nantinya akan dicarikan win win solution jika sudah ada formulasi yang tercantum dalam peraturan yang diterbitkan Kemenaker tersebut sehingga bisa tercapai kesepakatan. Pihaknya berharap, dalam pembahasan UMK ini masing-masing pihak harus saling mengurangi ego supaya nantinya terjadi kesepakatan UMK.
“Sesuai aturan Permenaker Nomor 51 Tahun 2024, Upah Minimum Provinsi (UMP) ditetapkan pada 21 November 2024, kemudian dilanjutkan penetapan kota/kabupaten pada tanggal 30 November 2024 dan berlaku mulai 1 Januari 2025,”tegasnya.
Perwakilan APINDO sekaligus anggota Dewan Pengupahan Kota Pekalongan, Sugianto menerangkan, bahwa dari pihak pengusaha mengusulkan penetapan UMK 2025 menggunakan formula pada PP Nomor 51 Tahun 2023, dimana kenaikan UMK menggunakan alfa 0,1-0,3. Mengingat, saat ini nilai daya beli masyarakat sangat rendah sekali, bahan baku dan biaya operasional melambung tinggi.
“Namun, dari dunia usaha juga berupaya agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. Oleh karena itu, ada beberapa pertimbangan yang harus ditempuh, diantaranya usulan untuk perhitungan UMK 2025 harus berpedoman pada PP 51 tahun 2023 nilai alfa 0,1 sampai 0,3 , dimana thn lalu diambil 0,2, nilai inflasi satu tahun berjalan, dan nilai prosentase pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan diupayakan agar usaha tetap berjalan, tidak ada PHK. Sebab, jika terjadi PHK, maka akan menambah angka kemiskinan di Kota Pekalongan,”jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris DPC SPN Kota Pekalongan, Mustaqim Atho’ menanyakan akankah di tahun politik ini mempengaruhi penetapan UMK 2025. Dari DPC SPN, sangat mendukung usulan APINDO, dengan catatan untuk kebutuhan kesehatan, pendidikan ,dan papan anak pekerja ditanggung pemerintah. Selanjutnya, pihaknya mengusulkan sesuai dengan isu kenaikan inflasi, dimana menurutnya inflasi saat ini 2,5 persen, pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, sehingga menjadi 7,7 persen atau dibulatkan 8 persen.
“Kemudian, dari SPN menambahi 2 persen dengan pertimbangan kebutuhan ekonomi sekarang semua naik jadi dibulatkan 10 persen,”kata Mustaqim.
Lanjut Mustaqim menambahkan, dari Kemenaker juga sudah menyampaikan, bahwa Upah Minimum Sektoral yang ditetapkan 5 persen, kalau 10 persen tambah 5 persen menjadi 15 persen. Dikarenakan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) harus dipertimbangkan juga, UMK ini harus mencapai kehidupan masyarakat yang layak sesuai Undang-Undang Dasar 1945, maka ia menilai, formula yang bagus adalah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, kemudian dikalikan dengan prosentase upah, dan tidak dikalikan dengan indeks tertentu.
“Tapi kalau diajukan alfa 0,5-1,0 seperti isu yang berkembang. Perhitungan ini berdasarkan rapat SPN tingkat Nasional pada tanggal 6 November 2024,”tandasnya.(*)