Baja Impor Ancam Kolaps Banyak Pabrik, Yusri: Saya Sudah Ingatkan Sejak Awal Tahun

oleh
Ilustrasi Industri Baja. foto/net

URBANNEWS.ID – Serbuan baja impor telah mengancam banyak pabrik di tanah air. Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman menyatakan telah memperingatkan pemerintah sejak awal tahun lalu.

“Awal Januari 2018 saudah saya protes terkait Permendag Nomor 22 tahun 2018, ternyata faktanya sekarang terungkap  permainan itu,” beber Yusri kepada urbannews.id, Selasa (27/11/2018)

Dilansir cnbcindonesia.com, 24 November 2018, Industri baja nasional sedang menghadapi cobaan yang berat. Pasalnya industri baja tanah air sedang dihadapkan pada masalah daya saing rendah karena praktik eksportir baja asing dalam memasukkan baja ke Indonesia.

Para eksportir Baja luar negeri ini melakukan praktik circumvention dengan mengalihkan harmonized number (HS Number). Mereka memasukkan baja karbon (carbon steel) namun menggunakan HS number baja paduan (alloy steel).

Seperti diketahui, impor carbon steel dikenakan bea masuk 15%, sementara itu alloy steel bebas bea masuk. Dengan tidak dibebankan biaya masuk maka harga jual menjadi lebih murah dan merusak industri baja nasional.

Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim mengatakan praktik kecurangan ini memanfaatkan celah aturan Permendag 22 tahun 2018. Aturan ini dibuat untuk menurunkan dueling time tetapi jadi celah untuk pengalihan HS number.

“Artinya itu banyak masuk alloy steel padahal sebenarnya itu digunakan untuk pembangunan konstruksi yang sebenarnya itu carbon steel, jadi pengalihan HS number untuk menghindari bea masuk dan ini kerugian buat negara,” ujar Silmy Karim dalam acara Closing Bell CNBC Indonesia, Jumat (23/11/2018).

“Terus kemudian praktik ini menimbulkan kerugian buat industri baja, nah ini yang tidak pernah diukur, karena industri itu akan sangat kurang baik buat Indonesia.”  

Baca Juga  BEM SI: Blok Corridor 100 Persen untuk Indonesia

Silmy Karim menjelaskan pemerintah perlu menata kembali industri baja dalam negeri agar bisa bersaing secara adil. Saat ini Indonesia punya masalah dengan konteks industri baja nasional sementara industri baja merupakan mother of industry.

“Jadi sangat penting bagi suatau negara, kalau kita lihat China, India yang saat ini sedang gencar melakukan pembangunan ekonomi kita melihat bahwa mereka concern dengan industri baja karena ini menyangkut kepada daya saing nasional atau daya saing industri,” tambahnya.

Sementara itu, mengutip klikanggaran.com terbitan 28 Januari 2018, Kebijakan baru Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito, menerbitkan Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) Nomor 22 Tahun 2018 pada 10 Januari 2018  yang merupakan perubahan ketiga dari Permendag Nomor 82 Tahun 2016 dianggap merupakan kebijakan blunder dan banyak dipertanyakan.

Sesungguhnya tujuannya untuk kepentingan siapa?

Bahkan, menurut Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), terkesan kebijakan itu merupakan “hatrick”  Menteri Perdagangan di awal tahun 2018. Kebijakan yang muncul setelah secara kontroversial melakukan kebijakan impor beras 500 ribu ton di saat memasuki panen raya, impor gula 1,8 juta ton, serta impor garam 2,3 juta ton, oleh kita sebagai negara yang mempunyai garis pantai terpanjang nomor 2 di dunia.

Yusri menyesalkan, semua protes yang muncul dari segenap lapisan masyarakat telah diabaikan Menteri Perdagangan.

“Sehingga memunculkan banyak tudingan bahwa semua kebijakan itu diduga lebih mementingkan kepentingan pemburu rente daripada kepentingan rakyat dan ratusan pelaku industri baja turunan yang telah menyerap puluhan ribu tenaga kerja, yang kemudian terancam gulung tikar akibat kebijakan kontroversi Menteri Perdagangan,” tutur Yusri pada Klikanggaran.com di Jakarta, Sabtu (27/01/2018).

Baca Juga  Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR Ingatkan Pentingnya Kajian Mendalam soal Amandemen UUD

Menurut Yusri, semuanya itu diawali dengan adanya penghapusan pasal 4 dari isi Permedag Nomor 82 Tahun 2016. Yaitu untuk memperoleh persetujuan impor sebagaimana dimaksud di ayat 3 ayat 1, bahwa perusahaan harus mengajukan permohonan secara elektronik kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri diharuskan melampirkan “Pertimbangan Tehnis oleh Menteri Perindustrian atau pejabat yang ditunjuk”. Dan, ternyata point pertimbangan tehnis dari Menteri Perindustri itulah yang menurut Yusri dihilangkan pada pasal 4  Permendag Nomor 22 Tahun 2018.

Oleh sebab itu Yusri menegaskan, tentu tak salah jika publik menilai bahwa kebijakan Menteri diduga tujuannya terkesan untuk menghidupkan peran pelaku importir atau pemburu rente daripada membesarkan industri dalam negeri.

Bedanya, lanjut Yusri, kalau “hatrick” di dunia sepak bola adalah keberhasilan menciptkan goal ke gawang lawan tiga kali. Akan tetapi, “hatrick” yang dilakukan Menteri Perdagangan ini malah memasukkan tiga bola ke gawang sendiri alias bunuh diri.

“Ironis, memang,” keluh Yusri.

“Asal tahu saja, kebijakan yang sudah berjalan selama ini, yang berdasarkan Permendag Nomor 82 Tahun 2016,  sudah berjalan baik dan telah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan industri dalam negeri. Maka dengan munculnya kebijakan baru berlandaskan Permendag Nomor 22 Tahun 2018 telah menimbulkan kecemasan baru industri baja turunan pengguna kawat baja yang memproduksi baut, mur, paku, wire mesh, baja pra tekan dan lainnya, akan ancaman dibanjirkan oleh serangan produk impor,” lanjutnya.

Baca Juga  Erick Siapkan BUMN Antisipasi Dampak Ekonomi dan Geopolitik Global

Padahal pertimbangan tehnis dari  Kementerian Perindustrian selama ini seperti dijelaskan oleh Yusri, telah menghadang upaya pihak pemburu rente dalam melakukan impor berlebihan. Sehingga pertimbangan tehnis harusnya menjadi syarat utama, boleh atau tidaknya impor bahan baku.

“Karena Kementerian Perindustrian adalah institusi yang sangat menguasai data antara kebutuhan dan suplai produk industri baja turunan dalam negeri,” tegas Yusri.

Lebih jauh Yusri memaparkan, kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan lebih mencerminkan ketidakberpihakan terhadap industri dalam negeri.

“Contoh seperti rekomendasi anti dumping terhadap Steel Wire Rod (SWR) yang dikeluarkan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) belum lama ini, dimana SWR merupakan bahan baku utama untuk berbagai macam produk turunan kawat baja, akan melemahkan daya saing industri turunan kawat baja.” Demikian Yusri memberikan contoh.

Selain itu Yusri juga mengingatkan, bila bea masuk anti dumping SWR jadi diterapkan dan Permendag 22 Tahun 2018 sudah berjalan, hal tersebut berpotensi besar untuk merugikan produsen produk-produk turunan kawat baja.

Maka menurut Yusri sudah seharusnya Presiden segera turun tangan untuk meninjau dan mengoreksi kebijakan yang sudah terlanjur dikeluarkan oleh Menteri perdagangan untuk melindungi kepentingan industri dalam negeri. Agar bisa tumbuh sehat dan berdaya saing, dan untuk ikut berperan aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

“Jangan sampai slogan “Nawacita” yang diusung Presiden jauh api dari panggangnya,” tutup Yusri.(cnbc/kac/*)

Tentang Penulis: Hengki Seprihadi

Gambar Gravatar
Professional Journalist

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.