URBANNEWS.ID – Ada yang tak biasa di kantor Kementerian ESDM di Jakarta, sejak Rabu (20/2/2019) malam hingga tengah malam. Hal itu setelah pada Rabu sore, baru saja berlangsung acara diskusi publik berjudul Mengelola Sumber Daya Alam, Menjaga Harkat Negeri, yang digagas Institut Harkat Negeri untuk membedah buku Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan karya Dr Simon Felix Sembiring.
Demikian diutarakan Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, Kamis (21/2/2019) pagi. “Istana pun sontak seperti kebakaran jenggot ketika beredar penjelasan Sudirman Said yang dikutip oleh ratusan media. Sudirman Said mengatakan bahwa surat yang dibuatnya pada 7 Oktober 2015 adalah atas perintah dan persetujuan Presiden Jokowi. Surat itu dibuat Sudirman Said setelah dipanggil ke istana pagi hari sekitar pukul 09.30 WIB untuk menjumpai Presiden. Namun yang lebih mengagetkan Sudirman Said, ternyata di dalam ruangan sudah ada James Moffett, CEO Freeport Mc Moran bersama Presiden Jokowi,” beber Yusri.
Menurut Yusri, pada diskusi Rabu sore itu, Sudirman Said menyatakan perlu mengklarifikasi apa yang tertulis di halaman buku Simon F Sembiring. Simon menulis dalam buku itu soal surat yang dibuat Sudirman Said tanggal 7 Oktober 2015 tentang kepastian operasi PT Freeport Indonesia. Sudirman menyatakan surat itu bukan inisiatif dia, akan tetapi atas perintah Presiden.
Menurut Yusri, seharusnya Meteri ESDM Ignasius Jonan bisa paham. Apa yang diungkap oleh Sudirman Said adalah episod papa minta saham. Akan tetapi, apa yang diungkapkan Jonan adalah epsiode PI Rinto divestasi PTFI.
Kemunculan kasus papa minta saham sebelumnya, menurut Yusri, telah menghebohkan jagat politik dan hukum yang mengakibatkan ‘episod 1’ menjadi terhenti.
Namun, lanjut Yusri, setelah revisi keempat PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pertambangan Mineral dan batubara, yang melahirkan PP Nomor 1 tahun 2017, membuat cerita bisa dilanjutkan ke ‘episod 2’. Cerita episode kedua ini tentang participating interest (PI) Rio Tinto. Cerita ini mendadak terungkap ke ruang publik mulai Agustus 2018 lalu.
“Seharusnya Jonan dalam rilisnya menjelaskan subtansi apa yang terungkap di dalam buku Simon Sembiring terkait surat Mentamben IB Sujana Maret 1995 dan 29 April 1996, serta surat Menkeu Marie Muhammad tanggal 1 April 1996, yang menyetujui PI Rio Tinto di Blok B, bukan di Blok A,” beber Yusri.
Dipaparkan Yusri, mekanisme surat tersebut kata Simon Sembiring, jika merujuk pada perspektif kontrak karya (KK) tahun 1991 pada Pasal 28 ayat 2 dapat dikatakan illegal, karena tidak diproses melalui Direktorat Jenderal Pertambangan Umum yang saat itu dijabat oleh Kuntoro Mangkusubroto.
“Kalau benar apa yang dikatakan oleh Simon Sembiring dan dibuktikan dengan proses pengadilan arbitrase bahwa surat itu illegal, maka PT Inalum bisa menyelamatkan miliaran dolar Amerika, dan tetap bisa mendapat saham 51,2% di PTFI,” kata Yusri.
Sehingga, sambung Yusri, pernyataan Menteri ESDM Jonan ke awak media hanya lebih ingin menyelamatkan posisi Presiden Jokowi daripada menjawab subtansi masalah divestasi tersebut.
“Keheranan Simon adalah bagaimana mungkin bisa dengan mudahnya diakui PI Rio Tinto akan menjadi saham 40% untuk periode 2022 hingga 2041. Menjanjikan sesuatu melampaui batas waktu KK Tahun 1991 dapat dikatakan pelanggaran yang berpotensi bisa dipidanakan. Karena KK Tahun 1991 baru akan berakhir pada 30 Desember 2021. Pemerintah dapat saja tidak memperpanjang operasi PTFI asal dengan alasan yang wajar,” ungkap Yusri Usman lagi.
“Jadi Jonan dapat dikatakan gagal paham kalau mengatakan bahwa surat-surat terdahulu tidak relevan dan tidak dijadikan dasar perundingan, sementara surat IB Sujana telah dipakai untuk mengakui keberadaan PI Rio Tinto di dalan PTFI,” ujar Yusri.
Sementara itu, dalam rilis pers Menteri Jonan kepada media 20 Februari 2019 yang beredar pukul 23.00 WIB, disebutkan Jonan menambahkan bahwa apabila ada pertemuan, perundingan atau surat yang terjadi sebelumnya, hal tersebut sudah tidak relevan karena tidak lagi dijadikan dasar perundingan.
“Dengan ditugaskannya saya jadi Menteri ESDM, perundingan start dari nol. Dan perundingan atau surat sebelumnya tidak dijadikan dasar lagi. Kalau seandainya dijadikan dasar, gak mungkin dong kita bisa dapat divestasi 51%,” pungkas Jonan.
Jonan menyatakan tidak lagi memakai surat lama. “Jadi apa yang ditulis di surat saat pendahulu-pendahulu saya jadi itu tidak dipakai, kita hanya berunding dengan basis baru. Jikalau toh ada pertemuan itu, kan nggak relevan, kan tidak kita pake juga,” tambah Jonan.
Menurutnya, saat ia menjabat sebagai Menteri ESDM, Presiden tidak pernah menerima Richard Adkerson secara khusus untuk membahas masalah Freeport. Pertemuan hanya terjadi saat selesainya divestasi 51% Freport pada 21 Desember 2018 lalu.
“Presiden tidak pernah menerima Freeport secara khusus di jaman saya. Sampai ditandatanganinya IUPK baru ketemu dengan presiden, Itu saja,” tegas Jonan.(hen)