SUKA atau tidak suka tanpa disadari dan tidak sesuai dengan keinginan, era reformasi terus bergulir membuat Indonesia tidak menjadi lebih baik bahkan semakin buruk. Agenda utama dan yang menjadi prinsip reformasi, justru menjadi kontradiktif. Apa yang dulu digugat penggerak reformasi kini malah semakin menjadi-jadi. Aktifis 98 sebagai salah satu entitas sosial yang ikut berkotribusi melahirkan reformasi. Terpanggil sejarah, haruskan ikut bertanggungjawab atau berjuang keras memperbaikinya? Lagi, sebuah gerakan moral baik dari dalam maupun dari luar kekuasaan.
Meski kelahiran reformasi telah dibajak oleh kaum ofortunis dan petualang politik. Aktifis 98 yang sebagian besar telah berada dalam lingkaran kekuasaan, namun sebagian lainnya masih tetap independen berpijak pada gerakan moral dan kritis pada penyelenggaraan negara. Kembali mengusung tema-tema basmi KKN, demokratisasi, supremasi hukum turunkan harga sembago dll. Eksponen aktifis gerakan 98 kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit kondisi realitas sosial politik, sosial ekonomi dan sosial hukum yang pernah ditentangnya dalam agenda reformasi.
Saat hampir semua kekuatan ‘civil society’ dibungkam dan seluruh rakyat tak berdaya dalam cengkeraman rezim oligarki. Tidak tanggung-tanggung kekuasaan pemerintahan dibawah kepemimpinan rezim sekarang, jauh lebih buruk dan membahayakan kehidupan rakyat, dibandingkan kepemimpinan Soeharto yang dilengserkan gerakan reformasi. Apa yang telah dilakukan pada masa Orde Baru, kini terulang kembali bahkan lebih dari sekedar “abuse of power. Selain kekuasaan tiran yang otoriter dan suburnya kejahatan-kejahatan setara ‘extra ordinay crime’. Pemerintahan dibawah komando presiden yang sering dijuluki publik sebagai boneka pembohong itu, beresiko tinggi menggadaikan dan menjual kedaulatan negara. Tak kalah memprihatinkan, negara terus mengalami pembelahan oleh kebijakan rezim. Berangsur-angsur dan terukur rakyat terancam degradasi sosial dan disintegrasi nasional.
