Price Review Dalam Kontrak LNG Pertamina, Bagaikan Pedang Bermata Dua

oleh
Image 04 07 24 at 08.26

PEKANBARU – Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada replik perkara mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan mendalilkan bahwa pada sebuah kontrak sales purchase agreement (SPA) liquid natural gas (LNG) wajib menyertakan klausul price review. JPU juga menganggap Karen bersama-sama HK dan YA telah melakukan sebuah perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian negara lantaran pada kontrak SPA 2015 LNG Corpus Christi Liquefaction (CCL) dengan Pertamina karena menyertakan klausul price review.

Sekretaris Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Hengki Seprihadi menilai, perihal kewajiban untuk adanya klausul price review ini juga yang menjadi alasan JPU pada replik di kasus Karen terkesan berpihak membela Direksi Pertamina setelah periode Karen. Direksi Pertamina setelah Karen menyetujui kontrak SPA LNG dengan Woodside dan Mozambique dengan adanya klausul price review.

“Sehingga Direksi Pertamina setelah Karen dianggap tidak memiliki kesalahan layaknya Karen. Padahal, antara SPA CCL dan SPA Woodside dengan SPA Mozambique sama-sama menyetujui kontrak SPA LNG. Sebagian kargo-kargo Wooside dan Mozambique juga pernah menghasilkan kerugian. Semua kargo-kargo tersebut juga pernah tidak terserap untuk kebutuhan dalam negeri. Namun sayang, kenyataannya terbukti bertentangan dengan dugaan teori karangan JPU itu,” ulas Hengki.

Baca Juga  Mau Tau Tidak Mau, PLN Berada Di Garis Depan Memandu Yang Lain Mencapai Net Zero Emission

Faktanya saat ini, lanjut Hengki, klausul price review justru memperburuk harga kontrak seiring dengan naiknya harga LNG setelah meletusnya perang Ukraina-Rusia.

“Contohnya yaitu pada pelaksanaan kontrak SPA LNG antara Woodside dan Pertamina yang disetujui Direksi Pertamina setelah Karen. Kontrak ini justru setelah dilakukan price review pada akhir tahun 2023 yang lalu, membuat harga melambung lebih mahal dari formula harga awalnya 11,5%  slope harga minyak mentah Indonesia. Harganya naik 2% menjadi 13,5%,” ungkap Hengki.

Dikatakan Hengki, dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia adalah US$ 80/Bbl, maka ini artinya harga yang dibayar Pertamina bertambah mahal sebesar US$ 5,6 juta atau setara dengan Rp 91,84 miliar untuk tiap-tiap kargo dari Woodside. Kewajiban Pertamina untuk mengambil kargo dari Woodside masih tersisa sekitar 20 MTPA, atau 350 kargo sampai dengan tahun 2038.

Baca Juga  Masih Perlukah Pancasila dan UUD 1945 Dipertahankan?

“Sebaliknya, pada kargo CCL yang disetujui Karen, akibat tidak adanya price review, maka harga kargo yang dinikmati Pertamina hingga saat ini tetap bertahan tidak terpengaruh kondisi krisis energi akibat perang Ukraina-Rusia,” ulas Hengki.

Sehingga, kata Hengki, setidaknya sampai dengan Desember 2023 Pertamina telah menikmati nett profit akumulasi LNG CCL sebesar untung USD 90 juta, atau hampir Rp1,5 triliun. Keuntungan ini telah dinikmati karyawan dan Direksi Pertamina yang dalam bentuk bonus, serta dinikmati negara dalam bentuk dividen juga.

“Karen, HK, dan YA sama sekali tidak menikmati bonus apapun dari Pertamina atas jasanya dalam mengembangkan dan menyetujui kontrak SPA LNG CCL yang notabene tidak memiliki klausul price review itu,” ungkap Hengki.

Baca Juga  Pengamat Maritim: Sarankan Dibuat ‘ALKI Rest Area’ Guna Mengoptimalkan Manfaat ALKI sebagai Sumber Devisa Negara

Pertanyaannya, kjata Hengki, apa akibatnya bilamana pada kontrak SPA LNG CCL memiliki klausul price review selayaknya teori karangan JPU itu?

“Tentu hal tersebut akan membuat Pertamina tidak akan menikmati nett profit akumulasi sebesar untung USS 90 juta per Desember 2023 dan negara juga merugi karena tidak menikmati bagian dari dividennya,” imbuh Hengki.

Hengki menegaskan, apa yang diteorikan JPU mengenai price review layaknya pedang yang bermata dua, yaitu bisa menguntungkan atau pun merugikan bagi BUMN.

“Sehingga tidak layak untuk dijadikan ukuran dan dasar mempidanakan seseorang. Apalagi telah terbukti bahwasanya akibat tidak adanya klausul price review pada kontrak SPA LNG CCL, harga yang dibayar Pertamina tidak terpengaruh kondisi krisis energi akibat perang Ukraina-Rusia. Sehingga setidaknya sampai dengan Desember 2023 Pertamina telah menikmati nett profit seperti yang disebutkan di atas,” pungkas Hengki.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.